Search This Blog

Saturday, 12 July 2014

Tinjauan Umum Mengenai Pencatatan Perkawinan (Perkawinan Siri Dalam Agama Lain)

Dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional telah dengan jelas melindungi dan mengatur agar terjaminnya hak-hak warga negara untuk melangsungkan perkawinan. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.[1] Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga menentukan hal yang sama, yaitu “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.[2] Dengan jaminan instrument hukum nasional tersebut sudah jelas bahwa perkawinan adalah hak asasi manusia.



[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 b ayat (1)
[2] Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886, Pasal 10 ayat (1)

Berbicara mengenai perkawinan, ada beberapa hal yang menarik untuk diketahui diantaranya adalah apa arti dari perkawinan itu. menurut Undang-undang perkawinan nasional (Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), mengatakan perkawinan ialah :

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.”

Dari rumusan perkawinan tersebut jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan suatu ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, akan tetapi ikatan keduanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni berupa pengucapan akad nikah bagi mereka yang beragama islam sedangkan bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha yaitu pengucapannya sesuai dengan ketentuan masing-masing.

Sedangkan sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas diantara kedua belah pihak yakni antara seorang pria dengan seorang wanita (kata sepakat) untuk hidup bersama sebagi suami isteri. Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagian dan kekal.

Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara saja atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi perkawinan itu berlangsung untuk seumur hidup atau selama-lamanya dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Oleh karenanya tidaklah diperkenankan suatu perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti halnya kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan jalan perceraian hanyalah diperkenankan atau diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.

 Selanjutnya dalam rumusan tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa pembentukan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena itulah maka dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Kemudian, dalam penjelasannya dinyatakan tidak ada perkawinan diluar hukum agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang tersebut.

Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa tidak ada kesempatan bagi seseorang untuk melangsungkan suatu perkawinan dengan menyimpang dan atau melangar ketentuan-ketentuan agama dan kepercayaannya yang dianutnya.

Sahnya Perkawinan

Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sekadar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan.

Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dengan penjelasan pasal tersebut di atas berarti tidak ada suatu perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Perlu digaris bawahi, kata-kata “Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)” dalam hubungannnya dengan “Hukum masing-masing Agamanya dan Kepercayaannya itu” adalah Pasal 29 Undang Undang Dasar 1945.

Oleh karena itu, maka sah tidaknya suatu perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diukur dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi semua syarat dan agamanya dan kepercayaannya itu. Suatu pencatatan perkawinan tidaklah menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, karena sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaan.

Tinjauan Umum mengenai Pencatatan Pernikahan

Pencatatan perkawinan bertujuan agar terwujudnya kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan, sehingga pencatatan tidak mempengaruhi sah tidaknya sebuah perkawinan. Apalagi dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diterangkan bahwa pencatatan ini hanya sebagai syarat administrative saja.[1]

Terkait dengan pencatatan perkawinan telah diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam Pasal 2 ayat (2); “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peratuan perundang-undangan yang berlaku”, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa pencatatan perkawinan ini sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting seseorang, seperti kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan akta resmi.

Selain itu juga dijelaskan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu dalam Pasal 35 huruf (a) yang menyebutkan bahwa : “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi : perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Adapun penjelasan Pasal 35 huruf (a) : Yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.

Adapun bunyi Pasal 34 ayat (1) dan (2) :

(1)  Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
(2)  Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

Penjelasan Pasal 34 ayat (1) dan (2) :
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Penerbitan Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh Departemen Agama.

Secara yuridis formal , eksistensi sebuah perkawinan dapat diakui dengan adanyan pencatatan perkawinan. Dengan demikian perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat yaitu :
1.     Telah memenuhi ketentuan hukum materiil yaitu telah dilaksanakan sesuai dengan memenuhi syarat dan rukun yang ada dalam hukum agama.
2.     Telah memenuhi ketentuan hukum formal yaitu telah dicatatkan pada pegawai pencatat nikah yang berwenang.

Dalam peristiwa perkawinan juga tidak lepas dari tiga unsur hukum yang memiliki konsekuensi atau akibat hukum yang tidak sama. Ketiga unsur ini adalah :
1.     Hukum materiil (hukum yang merupakan substansi ketentuan hukum itu sendiri), ialah bahwa setiap pernikahan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku;
2.     Hukum formal (hukum formil, yaitu merupakan aturan dari suatu tindakan hukum), yakni pernikahan harus dihadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai instansi yang berwenang dan mengawasi serta membantu pernikahan;
3.     Hukum administrative (yaitu merupakan tindakan-tindakan administrative untuk menguatkan atau sebagai alat bukti atas terjadinya suatu perbuatan hukum), dalam hal ini adalah pencatat perkawinan dalam hal ini adalah pencatatan perkawinan ke dalam buku akta nikah dan mengeluarkan kutipan akta nikah bagi yang bersangkutan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan juga dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) serta dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 bahwa perkawinan harus dicatatkan.

Pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang N0. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (1); Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pasal 2 ayat (2), Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Lembaga perkawinan non Islam atau lembaga perkawinan di luar Kantor Urusan Agama, secara yuridis masih dianggap belum sah, karena itu perkawinan di Luar Kantor Urusan Agama masih harus mencatatkan perkawinannya di kantor Pencatatan Perkawinan.
Lembaga perkawinan di luar Kantor Urusan Agama, dianggap sebagai lembaga yang memberkati atau lembaga yang memberi ijin perkawinan yang tidak mempunyai kedudukan atau tidak mempunyai kapasitas sebagai lembaga yang melaksanakan perkawinan atau mencatat perkawinan yang telah diselenggarakan.
Pasal 28 B ayat (1), Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen serta penjelasannya, menyebutkan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen serta penjelasannya, menyebutkan dalam ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa, sedangkan ayat (2) menyebutkan Negara mencamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Akibat Hukum dan Perkawinan

Dengan adanya suatu perkawinan akan menimbulkan berbagai masalah, diantaranya ada 3 masalah penting, yaitu :

a.     Masalah hubungan suami istri
Hubungan antara suami dengan istri dalam perkawinan menyangkut masalah soal hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hal tersebut. Dalam Undang-undang tersebut yaitu Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 :
(1)  Antara suami istri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan berumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam lingkungan masyarakat.
(2)  Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dilaksanakan dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat.
(3)  Dalam pembinaan rumah tangga itu, diperlukan suatu pengertian antara satu sama lain (suami atau istri) yakni adanya saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin.
(4)  Suatu rumah tangga yang dibina tersebut haruslah mempunyai tempat kediaman (domisili) yang tetap, hal ini haruslah ditentukan oleh kedua belah pihak.
(5)  Persamaan yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum, suami istri sama-sama berhak untuk melakukan segala perbuatan hukum.
(6)  Suami adalah sebagai kepala keluarga sedangkan si istri adalah sebagai ibu rumah tangga, dalam hal ini tentulah harus mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

b.     Masalah hubungan orang tua dengan anak

Sebagaimana dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa yang dianggap anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dalam hal ini orang tua wajib memelihara dan mendidik si anak dengan sebaik-baiknya, sampai anak tersebut kawin dan atau hidup berdiri sendiri dan walaupun perkawinan antara orang tua itu putus (Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Disamping kewajiban itu, orang tua juga bertanggung jawab terhadap anaknya sampai si anak tersebut belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak tersebut dalam segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Perlu diketahui bahwa kekuasaan orang tua tersebut dapat dicabut atas permintaan orang tua yang lain, keluarga ana
k dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan alasan dimana orang tua yang bersangkutan sangat melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali terhadap si anak. Namun demikian disamping mempunyai hak dari orang tuanya, si anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya.
Kewajiban si anak terhadap orang tuanya pertama-tama si anak harus menghormati dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Dan bilamana si anak tersebut telah dewasa, maka atas dasar kemampuannya anak tersebut wajib memelihara kedua orang tuanya.

c.     Masalah harta benda

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung akan menjadi harta bersama. Sedangkan bilamana salah satu pihak membawa harta pribadi ke dalam perkawinan atau dalam perkawinan itu masing-masing pihak memperoleh harta benda berupa hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap dalam kekuasaannya masing-masing, kecuali kalau ditentukan untuk menjadi harta bersama. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Suami atau istri dapat mempergunakannya bilamana ada persetujuan dari salah satu pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing pihak (suami atau istri) mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta benda tersebut. Selanjutnya, apabila perkawinan tersebut putus, maka tentang harta bersama, dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing dalam pembahasan ini adalah hukum agama, adat dan hukum-hukum lainnya yang masih berlaku.

Dalam hal masih banyak terdapat masalah perkawinan baik itu dari perkawinan campuran maupun siri tidak sedikit anak yang menanggung akibat dari perkawinan ini dan negara mempunyai peran penting untuk melegalkan hubungan hukum antara pria dan wanita melalui hubungan perkawwinan. Dengan adanya perkawinan dan melahirkan keturunan merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa.

Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sehubungan dengan ini baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terdapat ketentuan perkawinan beda agama.

Perkawinan di bawah tangan yang penulis maksudkan adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama Islam dengan memnuhi rukun dan syarat perkawinan, tetapi perkawwinan tersebut tidak dicatatkkannya di kantor pegawai pecatat nikah yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempat. Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam  Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peratuan perundang-undangan yang berlaku[1]

Pencatatan perkawinan yang telah dilakukan oleh petugas pencatat nikah dengan maksud agar terjadi tertib administrasi permintahan dan kependudukan berarti menghindarkan kekacauan administrasu yang berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum seseorang.

Esensi administrasi kependudukan adalah pelayanan kepada masyarakat untuk memberikan dokumen penduduk sebagai konsekuensi adanya peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang harus didaftar dan dicatat serta ditertibkan dokumen penduduk. Dokumen tersebut berupa identitas atau akta sebagai bentuk perlindungan dan pemberian hak-hak yang perlu dipenuhi oleh pemerintah dengan pelayanan yang professional dan makin bermutu[2].

Melalui pelayanan pendaftaran dan pencatatan tersebut, pemerintah dapat memperoleh data kependudukan yang lebih akurat dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Pelayanan yang berkualitas tersebut harus dilandasi adanya kompetensi teknis petugas, konstelasi pelayanan dengan prosedur dan tata cara yang baku dan memberikan kemudahan kepada masyarakat.

Keberadaan Kantor Catatan Sipil sebenarnya berfungsi sebagai tempat untuk mencatat pelayanan sepanjang menyangkut kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan pengakuan anak. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa terdapat perkawinan tertentu, seperti halnya perkawinan Kong Hu Cu ditolak oleh petugas pencatatan sipil untuk dicatatkan perkawinannya.



KESIMPULAN

1.     Pencatatan dilakukan berdasarkan agama yang dianut, agama Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha, sedangkan pencatatannya dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS), dan bagi yang beragama Islam pencatatannya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
2.     Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18). 
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1.      meminta penetapan pengadilan,
2.      perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.      penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4.      menikah di luar negeri.



[1] Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, Op. Cit., Pasal 2 ayat (2).
[2] Nursyahbani Katjasungkana, Bunga Rampai Catatan Sipil dan Masalah yang Terkait. (Jakarta : Primamedia Pustaka, 2003), hal. 4



[1] Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal, hal. 92.

No comments:

Post a Comment