Dalam Peraturan
Perundang-undangan Nasional telah dengan jelas melindungi dan mengatur agar
terjaminnya hak-hak warga negara untuk melangsungkan perkawinan. Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”.[1] Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga
menentukan hal yang sama, yaitu “setiap
orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.[2]
Dengan jaminan instrument hukum nasional tersebut sudah jelas bahwa perkawinan
adalah hak asasi manusia.
[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 b ayat (1)
[2] Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999, LN No. 165
Tahun 1999, TLN No. 3886, Pasal 10 ayat (1)
Berbicara mengenai perkawinan, ada beberapa hal
yang menarik untuk diketahui diantaranya adalah apa arti dari perkawinan itu.
menurut Undang-undang perkawinan nasional (Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan), mengatakan perkawinan ialah :
“Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.”
Dari rumusan perkawinan tersebut jelaslah bahwa
perkawinan itu tidak hanya merupakan suatu ikatan lahir saja atau ikatan bathin
saja, akan tetapi ikatan keduanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan
yakni berupa pengucapan akad nikah bagi mereka yang beragama islam sedangkan
bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha
yaitu pengucapannya sesuai dengan ketentuan masing-masing.
Sedangkan sebagai ikatan bathin, perkawinan
merupakan pertalian jiwa karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas diantara
kedua belah pihak yakni antara seorang pria dengan seorang wanita (kata
sepakat) untuk hidup bersama sebagi suami isteri. Dalam rumusan perkawinan
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu tercantum juga
tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagian
dan kekal.
Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan
untuk sementara saja atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan
tetapi perkawinan itu berlangsung untuk seumur hidup atau selama-lamanya dan
tidak boleh diputuskan begitu saja. Oleh karenanya tidaklah diperkenankan suatu
perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti halnya
kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan jalan perceraian hanyalah
diperkenankan atau diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Selanjutnya dalam rumusan tersebut dinyatakan dengan jelas
bahwa pembentukan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal itu
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut
harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena itulah
maka dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya.
Kemudian, dalam penjelasannya dinyatakan tidak
ada perkawinan diluar hukum agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perUndang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang tersebut.
Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa tidak
ada kesempatan bagi seseorang untuk melangsungkan suatu perkawinan dengan
menyimpang dan atau melangar ketentuan-ketentuan agama dan kepercayaannya yang
dianutnya.
Sahnya Perkawinan
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak sekadar sebagai suatu perbuatan hukum yang
menimbulkan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan
keagamaan, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum
agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan.
Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan penjelasan pasal tersebut di atas berarti
tidak ada suatu perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk dengan hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Perlu digaris bawahi, kata-kata “Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)” dalam hubungannnya dengan “Hukum masing-masing
Agamanya dan Kepercayaannya itu” adalah Pasal 29 Undang Undang
Dasar 1945.
Oleh karena itu, maka sah tidaknya suatu
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diukur
dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang
melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan dengan
memenuhi semua syarat dan agamanya dan kepercayaannya itu. Suatu pencatatan
perkawinan tidaklah menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, karena sah
tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut masing-masing hukum agama dan
kepercayaan.
Tinjauan Umum mengenai Pencatatan
Pernikahan
Pencatatan perkawinan bertujuan agar terwujudnya
kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum atas perkawinan itu
sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan
formil sahnya perkawinan, sehingga pencatatan tidak mempengaruhi sah tidaknya
sebuah perkawinan. Apalagi dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan diterangkan bahwa pencatatan ini hanya sebagai syarat
administrative saja.[1]
Terkait dengan pencatatan perkawinan telah
diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam Pasal 2 ayat (2); “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peratuan perundang-undangan yang berlaku”, yang dalam penjelasannya
disebutkan bahwa pencatatan perkawinan ini sama halnya dengan
peristiwa-peristiwa penting seseorang, seperti kelahiran dan kematian yang
dinyatakan dalam surat keterangan akta resmi.
Selain itu juga dijelaskan dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu dalam Pasal 35 huruf
(a) yang menyebutkan bahwa : “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 berlaku pula bagi : perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Adapun
penjelasan Pasal 35 huruf (a) : Yang dimaksud dengan “perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang
berbeda agama.
Adapun
bunyi Pasal 34 ayat (1) dan (2) :
(1) Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi
Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak tanggal perkawinan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan
dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
Penjelasan
Pasal 34 ayat (1) dan (2) :
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan. Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dicatat oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Ayat
(2)
Penerbitan
Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh Departemen
Agama.
Secara yuridis formal , eksistensi sebuah
perkawinan dapat diakui dengan adanyan pencatatan perkawinan. Dengan demikian
perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat yaitu :
1. Telah
memenuhi ketentuan hukum materiil yaitu telah dilaksanakan sesuai dengan
memenuhi syarat dan rukun yang ada dalam hukum agama.
2. Telah
memenuhi ketentuan hukum formal yaitu telah dicatatkan pada pegawai pencatat
nikah yang berwenang.
Dalam peristiwa perkawinan juga tidak lepas dari
tiga unsur hukum yang memiliki konsekuensi atau akibat hukum yang tidak sama.
Ketiga unsur ini adalah :
1. Hukum
materiil (hukum yang merupakan substansi ketentuan hukum itu sendiri), ialah
bahwa setiap pernikahan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundangan yang berlaku;
2. Hukum
formal (hukum formil, yaitu merupakan aturan dari suatu tindakan hukum), yakni
pernikahan harus dihadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai instansi yang
berwenang dan mengawasi serta membantu pernikahan;
3. Hukum
administrative (yaitu merupakan tindakan-tindakan administrative untuk
menguatkan atau sebagai alat bukti atas terjadinya suatu perbuatan hukum),
dalam hal ini adalah pencatat perkawinan dalam hal ini adalah pencatatan
perkawinan ke dalam buku akta nikah dan mengeluarkan kutipan akta nikah bagi
yang bersangkutan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan juga dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) serta dalam Pasal 35 huruf (a)
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 bahwa perkawinan harus dicatatkan.
Pencatatan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang N0. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, pasal 2 ayat (1); Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk.
Pasal 2 ayat (2), Pencatatan
Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai perundang-undangan
mengenai pencatatan perkawinan.
Lembaga perkawinan non Islam
atau lembaga perkawinan di luar Kantor Urusan Agama, secara yuridis masih
dianggap belum sah, karena itu perkawinan di Luar Kantor Urusan Agama masih
harus mencatatkan perkawinannya di kantor Pencatatan Perkawinan.
Lembaga perkawinan di luar
Kantor Urusan Agama, dianggap sebagai lembaga yang memberkati atau lembaga yang
memberi ijin perkawinan yang tidak mempunyai kedudukan atau tidak mempunyai
kapasitas sebagai lembaga yang melaksanakan perkawinan atau mencatat perkawinan
yang telah diselenggarakan.
Pasal 28 B ayat (1),
Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen serta penjelasannya,
menyebutkan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
Pasal 29 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen serta penjelasannya,
menyebutkan dalam ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
sedangkan ayat (2) menyebutkan Negara mencamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Akibat
Hukum dan Perkawinan
Dengan adanya suatu perkawinan akan menimbulkan
berbagai masalah, diantaranya ada 3
masalah penting, yaitu :
a.
Masalah
hubungan suami istri
Hubungan antara suami dengan istri dalam
perkawinan menyangkut masalah soal
hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hal tersebut. Dalam
Undang-undang tersebut yaitu Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 :
(1) Antara
suami istri diberikan hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan
berumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam lingkungan masyarakat.
(2) Adanya
hak dan kedudukan yang seimbang ini dilaksanakan dengan suatu kewajiban yang
sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan
menjadi dasar dari susunan masyarakat.
(3) Dalam
pembinaan rumah tangga itu, diperlukan suatu pengertian antara satu sama lain
(suami atau istri) yakni adanya saling mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin.
(4) Suatu
rumah tangga yang dibina tersebut haruslah mempunyai tempat kediaman (domisili)
yang tetap, hal ini haruslah ditentukan oleh kedua belah pihak.
(5) Persamaan
yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum, suami istri sama-sama
berhak untuk melakukan segala perbuatan hukum.
(6) Suami
adalah sebagai kepala keluarga sedangkan si istri adalah sebagai ibu rumah
tangga, dalam hal ini tentulah harus mengatur urusan rumah tangga dengan
sebaik-baiknya.
b. Masalah hubungan orang tua dengan anak
Sebagaimana dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa
yang dianggap anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dalam hal ini orang tua wajib
memelihara dan mendidik si anak dengan
sebaik-baiknya, sampai anak tersebut kawin dan atau hidup berdiri sendiri dan walaupun perkawinan antara orang tua itu putus (Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan).
Disamping kewajiban itu, orang tua juga
bertanggung jawab terhadap anaknya
sampai si anak tersebut belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk
mewakili anak tersebut dalam segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Perlu diketahui
bahwa kekuasaan orang tua tersebut dapat dicabut atas permintaan orang tua yang lain, keluarga ana
k dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan alasan dimana orang tua
yang bersangkutan sangat melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali
terhadap si anak. Namun demikian disamping mempunyai hak dari orang tuanya, si
anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya.
Kewajiban si anak terhadap orang tuanya
pertama-tama si anak harus menghormati dan mentaati kehendak orang tua yang
baik. Dan bilamana si anak tersebut telah dewasa, maka atas dasar kemampuannya
anak tersebut wajib memelihara kedua orang tuanya.
c. Masalah harta benda
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa tentang harta
benda yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung akan menjadi harta bersama. Sedangkan bilamana salah satu pihak membawa harta pribadi ke dalam perkawinan atau dalam perkawinan itu
masing-masing pihak memperoleh harta
benda berupa hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap dalam kekuasaannya masing-masing, kecuali kalau ditentukan untuk menjadi harta
bersama. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Suami atau istri dapat mempergunakannya bilamana
ada persetujuan dari salah satu
pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing
pihak (suami atau istri) mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta
benda tersebut. Selanjutnya, apabila perkawinan tersebut putus, maka tentang
harta bersama, dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing dalam
pembahasan ini adalah hukum agama, adat dan hukum-hukum lainnya yang masih
berlaku.
Dalam
hal masih banyak terdapat masalah perkawinan baik itu dari perkawinan campuran
maupun siri tidak sedikit anak yang menanggung akibat dari perkawinan ini dan
negara mempunyai peran penting untuk melegalkan hubungan hukum antara pria dan
wanita melalui hubungan perkawwinan. Dengan adanya perkawinan dan melahirkan
keturunan merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa.
Kewajiban
negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun
sehubungan dengan ini baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terdapat ketentuan perkawinan beda agama.
Perkawinan
di bawah tangan yang penulis maksudkan adalah perkawinan yang dilakukan
berdasarkan aturan agama Islam dengan memnuhi rukun dan syarat perkawinan,
tetapi perkawwinan tersebut tidak dicatatkkannya di kantor pegawai pecatat
nikah yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempat. Tentang pencatatan
perkawinan diatur dalam Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peratuan perundang-undangan yang berlaku”[1]
Pencatatan
perkawinan yang telah dilakukan oleh petugas pencatat nikah dengan maksud agar
terjadi tertib administrasi permintahan dan kependudukan berarti menghindarkan
kekacauan administrasu yang berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum
seseorang.
Esensi
administrasi kependudukan adalah pelayanan kepada masyarakat untuk memberikan
dokumen penduduk sebagai konsekuensi adanya peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting yang harus didaftar dan dicatat serta ditertibkan dokumen
penduduk. Dokumen tersebut berupa identitas atau akta sebagai bentuk
perlindungan dan pemberian hak-hak yang perlu dipenuhi oleh pemerintah dengan
pelayanan yang professional dan makin bermutu[2].
Melalui
pelayanan pendaftaran dan pencatatan tersebut, pemerintah dapat memperoleh data
kependudukan yang lebih akurat dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan. Pelayanan yang berkualitas tersebut harus dilandasi adanya
kompetensi teknis petugas, konstelasi pelayanan dengan prosedur dan tata cara
yang baku dan memberikan kemudahan kepada masyarakat.
Keberadaan
Kantor Catatan Sipil sebenarnya berfungsi sebagai tempat untuk mencatat
pelayanan sepanjang menyangkut kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan
pengakuan anak. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa terdapat
perkawinan tertentu, seperti halnya perkawinan Kong Hu Cu ditolak oleh petugas
pencatatan sipil untuk dicatatkan perkawinannya.
KESIMPULAN
1. Pencatatan
dilakukan berdasarkan agama yang dianut, agama Katolik, Kristen, Hindu, dan
Budha, sedangkan pencatatannya dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS), dan
bagi yang beragama Islam pencatatannya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
2. Hukum perkawinan di
Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama
sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah
perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari
agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut
oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan
beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan
laki-laki yang tidak beragama Islam (Al
Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda
agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih
dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar
Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan
ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya
dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan
pengadilan,
2. perkawinan dilakukan
menurut masing-masing agama,
3. penundukan sementara
pada salah satu hukum agama, dan
4. menikah di luar
negeri.
[1] Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, Op. Cit., Pasal 2 ayat (2).
[2] Nursyahbani Katjasungkana, Bunga Rampai
Catatan Sipil dan Masalah yang Terkait. (Jakarta : Primamedia Pustaka, 2003),
hal. 4
[1] Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal, hal. 92.
No comments:
Post a Comment