Search This Blog

Tuesday, 15 July 2014

Penerapan Prinsip Kehati-hatian Perkreditan Perbankan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1144 K/Pid/2006)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasaran-sasarannya: pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbankan menjadi sangat penting.
Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional.[1]Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan disektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter.
Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh resiko, disamping menjanjikan keuntungan yang besar jika dikelola secara baik dan prudent. Dikatakan sebagai bisnis penuh resiko (full risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
Besarnya peran yang diemban oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka kran sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis banknya tanpa didukung atau diback-up dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan.
Oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang peranan penting dalam pengembangan infrastruktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi tetapi juga berperan penting dalam memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter.
Pelaksanaan prinsip kehati-hatian merupakan hal penting guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Krisis perbankan yang melanda Indonesia sepanjang tahun 1997 hingga saat ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dikalangan pelaku bisnis perbankan.
Bank yang pada hakikatnya merupakan lembaga intermediasi di mana di satu sisi ia menampung dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan di sisi lain ia juga menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sebagai pemberi kredit, bank wajib menetapkan suatu kebijakan perkreditan agar tetap dapat memelihara keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dan menjamin lunasnya semua kredit yang disalurkan. Seperti dalam ketentuan pasal 8 Undang-undang perbankan disebutkan bahwa bank dalam memberikan kreditnya wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya.
Pada kesempatan pembahasan makalah kali ini kami memilih studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/2006 pada studi kasus yang terjadi pada Bank sebagai lembaga penghimpun dana yang juga merupakan lembaga kepercayaan masyarakat memberikan pinjaman berupa Kredit tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian.

1.2  Rumusan Masalah
Dengan melihat Latar Belakang yang ada pada makalah ini kami dalam menganalisa kasus memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit. Oleh karena itu kami menentukan perumusan masalah dalam penulisan makalah kali ini adalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana bentuk penerapan Prinsip Kehati-hatian Bank dalam pemberian Kredit?
2.    Bagaimana Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada studi kasus?

1.3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan pada makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui bagaiamanakah penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam pemberian Kredit.
2.    Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/2006.

1.4  Metode Penelitian
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doctrinal. Pada penelitian jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, atau bahan hukum tersier.
Data sekunder dapat didefinisikan sebagai data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dokumen yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang tersedia dalam bentuk buku-buku/dokumentasi yang biasa disediakan diperpustakaan/milik pribadi peneliti.[2]
Data sekunder terdiri dari :
1.     Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari :
a.     Norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
b.     Peraturan dasar:
·      Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
·      Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat
c.     Peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari :
·      Undang-Undang dan peraturan yang setaraf;
Undang-undang yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi  ini adalah KUHPerdata.
·      Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf;
2.     Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
3.     Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
Alat pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi dokumen  (kepustakaan). Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, seorang peneliti dapat memilih tipe penelitian yang akan dipergunakannya. Penentuan tipe penelitian akan membantu peneliti dalam kegiatan pengumpulan dan analisa data. Suatu penelitian dapat menggunakan satu tipe penelitian atau perpaduan dari beberapa tipe penelitian.[3] Tipe penelitian sendiri terbagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut pandangnya. Tipe-tipe penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1.     Dari sudut sifatnya, penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan sesuatu gambaran umum tanpa didahului adanya hipotesa terdahulu.[4] Penelitian dengan sifat ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi suatu gejala.[5]
2.     Dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian fact finding. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menemukan fakta tentang suatu gejala yang diteliti.
3.     Dari sudut penerapannya, penelitian ini merupakan penelitian berfokus masalah. Dalam penelitian ini permasalahan yang diteliti didasarkan pada teori atau dilihat kaitannya antara teori dan praktek.
4.     Dari sudut ilmu yang dipergunakan, penelitian ini merupakan penelitian mono disipliner, hal ini dikarenakan penelitian itu hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu.


1.5  Kerangka Penulisan
BAB I
Bab ini berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, , metode penelitian dan diakhiri dengan kerangka penulisan. Dari bab tersebut dapat diketahui latar belakang diadakannya penelitian ini, tujuannya sampai pada pandangan secara umum tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan ini.

BAB II
Bab ini berupa pembahasan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, khususnya Kredit Tanpa Agunan (KTA) baik secara teori, doktrin dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

BAB III
Bab ini berupa rumusan dalam studi kasus Putusan Mahkamah Agung No. . 106/Pid. B/2013/PN.Po dan analisa berdasarkan teori, doktrin dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

BAB IV
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis setelah dilakukannya penelitian.







BAB II
TINJAUAN UMUM PRINSIP KEHATI-HATIAN BANK DALAM PEMBERIAN KREDIT SERTA KETENTUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
2.1  PENGATURAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM UU PERBANKAN
Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. [6] Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang No.10 tahun 1998.
Pasal 29 :
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya ketentuan prudent banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi menurut Anwar Nasution, ketentuan prudent banking termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.[7]
Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan.
Pasal 8
 “Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Pasal 10 :
“Bank Umum dilarang :
a.     melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dan huruf c;
b.     melakukan usaha perasuransian;
c.     melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7.

Pasal 11 :
(1)  Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan
(2)  Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
(3)  Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a.     Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b.     Anggota dewan komisaris;
c.     Anggota direksi;
d.     Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e.     Pejabat bank lainnya; dan
f.      Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf,c huruf d, dan huruf e.
(4)  Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI

Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.[8] Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan.
Dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern[9] dalam bentuk self regulations.[10] Ruang lingkup aturan prudent banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.[11]
Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 4 di atas.
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut telah tersedia, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah atau pembelian/penjualan Surat Berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggung jawab terhadap para nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank denga nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduciary relationship).[12]
Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik setelah lahirnya UU No.7 tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No. 10 tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia. Aturan-aturan tersebut misalnya :
1.     SK BI 30/11/KEP/DIR/1997 tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan bank
2.     SK BI 30/12/KEP/DIR/1997 tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat
3.     SK BI 30/46/KEP/DIR/1997 tentang pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah
4.     SK BI/31/16/UUPB/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum
5.     SK BI 31/177/KEP/DIR tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum
6.     SE BI 31/17/UUPB/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
7.     SE BI 31/18/UUPB/1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum
8.     SK BI 31/179/KEP/DIR tentang pemantauan likuiditas bank umum
9.     SK BI 31/148/KEP/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif
10.  SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif
11.  SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
12.  Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK Direksi BI 31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit
13.  Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank]
14.  Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank
15.  Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang rencana bisnis bank umum
16.  Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi aset bagi bank umum
17.  dll
Sebagaimana halnya bank-bank di Negara-negara maju dan berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti ketentuan Bassel International Standard (BIS). Dalam rangka pemenuhan kondisi perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS. Sampai saat ini baru 12 aturan BIS yang siap diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan CAR 8% dan Non Performing Loan (NPL) 5% yang harus segera dipenuhi bank-bank sebelum akhir 2001.[13]
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk diterapkan di Indonesia melalui komitmen yang dilakukan oleh BI dengan IMF. 25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan yang jelas,  bersifat independen dan memiliki sumber daya yang cukup
2.     Kegiatan yang diizinkan
3.     Kriteria perizinan
4.     Otoritas untuk mengkaji dan menolak usul
5.     Otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential)
6.     Kecukupan modal
7.     Standar kredit dan monitoring
8.     Kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas aset
9.     Sistem informasi manajemen bank
10.  Ketentuan pinjaman terkait (BMPK)
11.  Monitoring terhadap resiko
12.  Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar
13.  Mempunyai prosedur pengendalian resiko manajemen yang komprehensif
14.  Sistem pengendalian internal
15.  Meningkatkan kode etik professional metode pengawasan bank
16.  Meliputi off site dan on site
17.  Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank
18.  Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan
19.  Mempunyai independensi
20.  Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi perbankan
21.  Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap dan akurat
22.  Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan mampu melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama pengawasan internasional
23.  Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi
24.  Melakukan kerjasama antar pengawas, dan
25.  Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank asing[14]
Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap perbankan, tetapi juga lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang notabene di bawah pengawasan bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan kegiatan lembaga keuangan non-bank.[15]
2.2  Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit
Prinsip kehati-hatian ini juga wajib diterapkan oleh Bank dalam memberikan kredit. Kredit ataupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sangat berkaitan erat dengan risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Bank harus menentukan kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya dalam melaksanakannya kegiatan usahanya sebagai lembaga yang memberikan kredit. Pasal 8 dan Pasal 15 UU Perbankan menyebutkan bahwa Bank apapun jenisnya, dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Bank juga wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang sekarang menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut UU OJK.
Sebelum memberikan kredit, bank terlebih dahulu mengadakan analisis kredit, yang bertujuan agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman, dalam arti uang yang disalurkan pasti kembali.[16] Bank akan mengalami bahaya besar apabila tidak dilakukan analisis kredit terlebih dahulu. Setelah Bank memiliki keyakinan tentang nasabahnya, maka barulah Bank dapat memberikan kredit kepada nasabahnya. Agar mendapatkan keyakinan tersebut Bank melakukan serangkaian kegiatan yang berupa penilaian terhadap faktor-faktor yang dikenal dengan prinsip 5C. Kelima faktor tersebut adalah character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy. Penilaian ini telah lama dikenal oleh Bank karena sudah ada prinsip ini sejak Undang-Undang Perbankan yang lama yaitu UU Nomor 14 tahun 1967.
a. Character
Penilaian watak atau karakter nasabah debitur yang dihubungkan dengan tanggung jawabnya dalam membayar kredit. Penilaian ini didasarkan pada hubungan nasabah debitur yang selama ini telah terjalin dengan bank. Penilaian juga dapat dilaksanakan dengan perolehan data-data yang disampaikan dalam permohonan kreditnya. Bank akan menilai apakah nasabah sudah secara jujur memberikan datanya kepada Bank, sehingga dengan begitu Bank dapat menilai watak dari nasabah debitur tersebut.
b. Capacity
Nasabah debitur tentunya mempunyai tujuan dari pengajuan kredit kepada Bank. Bank kemudian akan melihat apakah nasabah debitur tersebut berdasarkan kemampuannya dapat memenuhi pelunasan kredit tersebut. Bank akan melihat kemampuan nasabah debitur tersebut, seperti latar belakang pendidikan atau pengalamannya.
c. Capital
Modal yang dimiliki oleh nasabah debitur juga menjadi faktor keyakinan Bank dalam memberikan kredit. Bank biasanya meminta laporang keuangan nasabah debitur, yang nantinya akan dikaji oleh pihak Bank, apakah nasabah debitur tersebut dengan modal yang dimilikinya dapat memenuhi pelunasan kreditnya.
d. Collateral
Jaminan adalah salah satu faktor yang menjadi penentu keyakinan Bank dalam memberikan kredit kepada nasabah debitur. Bank akan menilai apakah jaminan tersebut nantinya dapat memenuhi pelunasan kredit dari nasabah debitur.
e. Condition of economy
Kondisi ekonomi juga harus diperhatikan oleh pihak Bank dalam memberikan kredit. Tentunya hal ini dikarenakan kredit sangat berhubungan erat dengan ekonomi. Bank sebagai lembaga yang mempunyai fungsi intermediary harus sangat berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya. Bank sebagai jantung perekonomian negara tidak boleh sembarangan dalam melakukan kegiatan usaha, karena nantinya akan sangat berpengaruh pada ekonomi negara. Begitu pula dengan pemberian kredit, Bank harus memperhatikan apakah kondisi ekonomi saat ini memungkinkan untuk memberikan kredit, dan seberapa besar jumlah kredit yang dapat diberikan.
Selain faktor-faktor tersebut, terdapat beberapa aturan lain yang harus dipenuhi dan dipatuhi oleh Bank berkaitan dengan pemberian kredit. Prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaannya mengacu pada suatu ketetapan guna menjaga kegiatan usaha bank agar tetap sehat dan stabil dan bertujuan agar bank dapat melakukan kegiatan usahanya dengan aman sehingga bank dalam keadaan sehat. Ketetapan tersebut antara lain adalah:
a. Analisis Pembiayaan
Bank harus mengajukan penilaian awal saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan dengan berpedoman kepada 5C, 4P, 3R yaitu Character, Capital, Capacity, Collateral, Condition of Economy, Party, Purpose, Profiliability, Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability nasabah pemohon.[17]
b. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
Latar belakang ditetapkannya ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah agar bank melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa agar tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam, atau bahkan sektor tertentu, sehingga konsentrasi pemberian kredit dapat mengakibatkan risiko yang sangat besar bagi bank.[18]
c. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank/Capital Adequacy Ratio (CAR)
Posisi CAR sangat tergantung pada:[19]
a. Jenis aktiva serta besarnya risiko yang melekat padanya.
b. Kualitas aktiva atau tingkat kolektibilitasnya.
c. Total aktiva suatu bank, semakin besar aktiva, semakin bertambah pula risikonya.
d. Struktur posisi dan kualitas permodalan bank.
e. Kemampuan bank untuk meningkatkan pedapatan dan laba.
d. Kualitas Aktiva Produktif
Aktiva produktif menurut Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, adalah penyediaan dana bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Pasal 2 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 menyatakan, pelaksanaan dana oleh bank wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati – hatian. Direksi bank wajib menilai, memantau, dan mengambil langkah-langkah penting agar kualitas aktiva senantiasa baik dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian.
e. Giro Wajib Minimum
Giro Wajib Minimum berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.10/25/PBI/2008, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga.
Setelah Bank melaksanakan analisis kredit terhadap nasabah debiturnya, dan Bank tersebut memiliki keyakinan terhadapnya, maka kredit dapat diberikan dengan dimulai dengan dibuatnya perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian yang berkaitan dengan utang piutang, yang dalam hal ini adalah kredit. Perjanjian kredit tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut KUHPerdata, namun sebagai salah satu bentuk perjanjian, maka perjanjian kredit tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan umum perjanjian dalam KUHPerdata.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1  KASUS POSISI PEMBERIAN KREDIT KEPADA PT.TAHTA MEDAN (PT.TM) KEPADA PT. CIPTA GRAHA NUSANTARA (CGN)[20]
Edward Cornellis William Noloe, I Wayan Pugeg, M. Sholeh Tasripan merupakan para terdakwa karena melakukan perbuatan hukum saat melakukan pemberian kredit kepada PT.Tahta Medan (PT.TM) cq. PT. Cipta Graha Nusantara (PT.CGN) oleh Bank Mandiri. E.C.W. Noloe, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan merupakan para pejabat Bank Mandiri dan bertindak sebagai pemutus kredit terhadap Edyson, Saiful Anwar dan Diman Ponijan yang merupakan para petinggi PT.TM cq. PT. CGN dan pemohon kredit kepada Bank Mandiri.
Adapun perbuatan melawan hukum yang dilakukan para terdakwa selaku pemutus kredit dalam menyetujui pemberian kredit sejumlah Rp. 160 Milyar dalam Nota Analisis Kredit Bridging Loan No. CGR.CRM/314/2002 kepada PT.TM cq. PT.CGN oleh Bank Mandiri adalah :
1.     Pada tanggal 23 Oktober 2002, Para terdakwa tidak memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan karena pada saat itu pemeberian kredit yang seharusnya berdasarkan permohonan fasilitas kredit sebesar USD 13.500.000,00 diproses dengan pemberian kredit Bridging Loan sejumlah Rp. 160 Milyar sebelum nota analisa kredit dibuat dan diterima oleh para Terdakwa.
2.     Pada 24 Oktober 2002, Para terdakwa menyetujui pemberian kredit bridging loan kepada PT. CGN sejumlah Rp. 160 Milyar. Padahal Ketentuan Bank Indonesia dan Bank Mandiri tidak pernah mengatur fasilitas kredit Bridging Loan dan pembiayaan secara refiniancing. Nota Analisa Kredit No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 Perihal Permohonan Fasilitas Bridging Loan atas Nama PT. CGN hanya dibuat dalam waktu satu haru padahal kebiasaan pembuatan Nota Analsia membutuhkan waktu 1 minggu hingga 1 bulan.
3.     Para terdakwa tidak melakukan penilaian atas kelayakan jumlah permohonan kredit dengan proyek atau kegiatan usaha yang dibiayai atau yang akan dibiayai dengan maksud menghindari kemungkinan terjadinya praktek mark up yang dapat merugikan bank, melainkan Para terdakwa langsung menyetujui pemberian kredit Bridging Loan Rp. 160 Milyar untuk membiayai pembelian asset kredit oleh PT. TM, padahal PT. Trimanunggal Mandiri Persada hanya membeli asset PT.TM dengan harga Rp. 97 Milyar sehigga kredit yang disetujui para terdakwa terlalu mahal.
4.     Para Terdakwa menyetujui nota analisa kredit Bridging Loan kepada PT. CGN yang tidak sesuai dengan kenyataannya, dalam Nota Analisa Bridging Loan tersebut dijelaskan PT. CGN mengajukan fasilitas kredit lnvestasi sebesar USD.18,500,000.00 (delapan belas juta lima ratus ribu US Dollar) yang akan digunakan untuk membeli hak tagih eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional atas nama PT, Tahta Medan dari PT. Manunggal Wiratama sebesar Rp. 160 milyar dan sisanya sebesar equivalen Rp.5 milyar ditambah self financing dari PT. CGN sebesar Rp. 22.500.000.000,- digunakan untuk mentake over saham yang dimiliki oleh pemegang saham PT. Tahta Medan yaitu Dana Pensiun Bank Mandiri Tiga (DPBM3) dan PT. Pengelola Investasi Mandiri (PT. PIM) namun kenyataannya PT. CGN tidak pernah menyetor self financing sejumlah Rp. 22.500.000.000,- dan saham PT. Pengelola Investama Mandiri tidak berhasil dibeli atau ditake over, demikian pula saham Dana Pensiun Bank Mandiri Tiga baru dibayar sejumlah Rp. 14.597,000.000 padahal seluruh harga saham sejumlah Rp. 18.246.250.000 sehingga masih sisa Rp. 3.649.250.000, yang tidak dibayar.
5.     Para Terdakwa menyetujui Nota Analisa Bridging loan tanpa mempunyai informasi lengkap tentang agunan pokok yang dibiayai oleh kredit bridging loan sehingga agunan yang ternyata dijaminkan oleh PT.CGN bukanlah milik PT. Manunggal Wiratama melainkan milik PT. Trimanunggal Mandiri Persada.
6.     Para Terdakwa menyetujui Nota Analisa Bridging Loan kepada PT. CGN padahal PT. CGN merupakan perusahaan baru yang didirikan tanggal 23 April 2006 dan tidak pernah menyerahkan neraca tahunan berjalan atau neraca pembukuan kepada Bank Mandiri serta saham yang disetor hanya sebesar Rp 600.000.000,00
7.     Para Terdakwa menyetujui Nota Analisa Bridging Loan dengan tidak memastikan terlebih dahulu kebenaran bahwa agunan kredit telah diikat dengan Agunan Fidusia Eigendom Overdracht (FEO) karena tidak ada akta notaril FEO atas agunannya.
8.     Para Terdakwa menyetujui Noata Analisa Bridging Loan dengan tujuan pembelian asset kredit BPPN sebesan Rp 160 Milyat atas nama PT. Tahta Medan untuk penyelesaian pembangunan Tiara Tower dan renovasi pembangunan Hotel Tiara Medan padahal kenyataannya PT. CGN tidak menyelasiakan pembangunan Tiara Tower dan renovasi bangunan Hotel Tiara Medan
Setelah disetujui dan ditandatanganinya Nota Analisa Bridging Loan sebesar Rp 160 Milyar yang dibuat tidak sesuai ketentuan dan kenyataan sebenarnya pada tanggal 25 Oktober 2002, Uang sejumlah Rp 160 Milyar telah dicairkan kepada PT.CGN.
PT. CGN, saat jatuh tempo, hanya membayar angsuran tanggal 23 Juni 2005 sebesar USD 150.000 sehingga angsuran pokok yang tidak dibayar sebesar USD 6.150.000. Sesuai dengan Akte Notaris Machrani Moertolo Soenarto, SH No. 79 tanggal 19 Desember 2003 tentang Novasi atau pembaharuan hutang dengan pergantian debitur baru kepada PT. TM dari PT. CGN. Walaupun sudah dilakukan novasi kredit, namun pembayaran angsuran pokok sesuai dengan jadwal pembayaran PT. Tahta Medan harus membayar angsuran pokok Desember 2003 sampai dengan 23 Juni 2005 sejumlah USD.6,300,000.00.
Pada tanggaI 19 Maret 2004, saksi Edyson selaku Direktur Utama PT. Tahta Medan menyurat kepada PT. Bank Mandiri No. 001/TM-Jk/CBT-H/IIl/2004 perihal Permohonan rescheduling atas angsuran KI dan KMK yang pada pokoknya memohon memberi kelonggaran untuk penjadwalan kembali (rescheduling) kelonggaran waktu untuk rnemenuhi kewajjban pokok Kredit Investasi. Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 2004 saksi Edyson kembali mengirim surat kepada PT. Bank Mandiri perihal Permohonan Penghapusan denda bunga kredit Investasi. Selanjutnya pada surat tersebut dibuatkan nota analisa No. CBG.CR1/CA1.044/2004 tanggal 25 Juni 2004 perihal permohonan penjadwalan kembali angsuran pokok fasilitas Kredit lnvestasi atas nama PT. Tahta Medan (Group Domba Mas). Nota analisa tersebut disetujui para terdakwa. Tindakan rescheduling merupakan tindakan penyelamatan karena telah diketahui cash flow PT. Tahta Medan tidak cukup mampu membayar kewajiban angsuran pokok sesuai jadwal yang ditetapkan dan penyelesaian pembangunan Tiara Tower serta renovasi hotel Tiara tidak terealisasikan di samping itu kolektibilitas kredit PT. Tahta Medan tergolong kolektibilitas 3 (sama dengan kurang lancar).
Dalam nota analisa rescheduling yang disetujui Terdakwa E.C.W. Neloe dari M. Sholeh Tasripan dijelaskan bahwa permasalahan tidak terpenuhinya pembayaran pokok kredit sehingga tergolong kurang lancar, karena adanya permasalahan dengan salah satu penyewa tower yaitu "The Song". Permasalahan penyewa "The Song" sebenarnya sudah ada pada saat para Terdakwa menyetujui kredit Bridging Loan. Seharusnya jika para Terdakwa bertindak hati-hati, cermat dan teliti serta mematuhi ketentuan-ketentuan tentang pemberian kredit, maka permasalahan tersebut dapat diketahui para Terdakwa dan kredit Bridging Loan atau kredit Investasi seharusnya tidak disetujui sehingga dana PT. Bank Mandiri sejumlah Rp.165 milyar tidak seharusnya dicairkan

3.2  PRINSIP KEHATI-HATIAN (PRUDENTIAL BANKING) DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA PT.TM cq. PT CIPTA GRAHA NUSANTARA (CGN)  OLEH BANK MANDIRI
Dalam kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT.TM cq. PT. CGN, pemberian kredit tidak dilaksanakan melalui tahapan penelitian mendalam untuk menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap debitur oleh Bank Mandiri. Kredit diberikan dengan dalam proses yang singkat dan tidak sesuai dengan prosedur dalam ketentuan atau peraturan perundang-undangan perbankan. Para Terdakwa merupakan pejabat Bank Mandiri yang bertanggung jawab atas pemberian persetujuan kredit kepoada debitur yaitu PT. TM cq. PT. CGN.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[21] Kredit diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga dengan demikian pemberian kredit merupakan kepercayaan kepada nasabah. Kredit terdiri dari 4 unsur yaitu kepercayaan, tenggang waktu, degree of risk, dan prestasi atau objek kredit.
Di sisi lain, Prinsip kehati-hatian disebutkan dalam Pasal 2 UU Perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian ini adalah dimana bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan-kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati. Prinsip kehati-hatian adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi masyarakat yang dipercayakan kepadanya.[22] Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) PBI 13/1/pbi/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang menjelaskan bahwa bank wajib memelihara dan/atau meningkatkan kesehatan bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen rasio dalam melaksanakan kegiatan usaha.
Pada prinsipnya, Bank harus memperhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang benar dengan melakukan penelitian mendalam mengenai calon debitur yang akan menerima kredit. Penelitian mendalam ini dilakukan untuk melihat kelayakan calon debitur untuk memperoleh kredit. Penelitian secara mendalam mengenai calon debitur untuk memberikan keyakinan kepada bank bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan dikemblaikan dan fungsi dari jaminan kredit hanyalah untuk berjaga-jaga. Prinsip kehati-hatian wajib diterapkan oleh bank dalam memberikan kredit. Kredit harus dilaksanakan harus memperhatikan asas-asas perkreditan dan prinsip kehati-hatian. Pasal 8 dan Pasal 15 UU Perbankan menyebutkan bahwa Bank apapun jenisnya, dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sebelum memberikan kredit, bank terlebih dahulu mengadakan analisis kredit, yang bertujuan agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman, dalam arti uang yang disalurkan pasti kembali.[23] Bank akan mengalami bahaya besar apabila tidak dilakukan analisis kredit terlebih dahulu. Setelah Bank memiliki keyakinan tentang nasabahnya, maka barulah Bank dapat memberikan kredit kepada nasabahnya.
Agar mendapatkan keyakinan tersebut Bank melakukan serangkaian kegiatan yang berupa penilaian terhadap faktor-faktor yang dikenal dengan prinsip 5C. Kelima faktor tersebut adalah character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy. Pada kenyataannya berdasarkan praktek dalam kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN ini, Bank Mandiri tidak melaksanakan analisis kredit agar Bank Mandiri memiliki keyakinan terhadap nasabahnya yaitu PT. TM cq. PT. CGN. Bank Mandiri tidak melaksanakan serangkaian kegiatan terhadap faktor-faktor prinsip 5C terhadap PT. TM cq. PT.CGN karena Nota Analisa Bridging Loan dibuat, disetujui dan ditandatangani dalam waktu yang singkat tanpa ada laporan analisis yang sesuai dengan hasil pemeriksaan melainkan hanya berdasarkan keterangan dari nasabah. Hal tersebut jelas melanggar ketentuan hukum mengenai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit oleh Bank kepada nasabahnya dan dapat mempengaruhi kesehatan Bank apabila hal yang yang dijelaskan oleh Nasabah tidak sesuai dengan kenyataannya atau Nasabah melakukan penipuan terhadap Bank.
Selain analisis kredit, agar prinsip kehati-hatian terpenuhi, Bank harus melihat besar kredit yang diminta dan akan diberikan kepada nasabah karena adanya ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dari Bank. Pada kasus Pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN, Para Terdakwa menyetujui pemberian kredit sebesar Rp. 160 Milyar dengan alasan kredit akan digunakan dengan tujuan pembelian asset kredit BPPN sebesar Rp 160 Milyar untuk penyelesaian pembangunan Tiara Tower dan renovasi pembangunan Hotel Tiara. Pada kenyataannya uang tersebut tidak digunakan oleh PT.TM cq PT. CGN untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Selain itu, tujuan analisis kredit dan penentuan BMPK ini adalah menghidari adanya praktek mark up yang dapat merugikan bank. Hal ini terjadi pada kasus ini, Para Terdakwa menyetujui pemberian kredit Bridging Loan sebesar 160 Milyat untuk membiayai pembelian asset kredit PT. TM padahal PT. Trimanunggal Mandiri Persada hanya membeli asset PT. TM hanya dengan harga Rp 97 Milyar. Adanya kelebihan pemberian kredit membuktikan adanya mark up permohonan kredit, hal ini diakibatkan oleh kredit yang diberikan tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pada dasarnya, Kredit diberikan oleh Bank dengan membuat perjanjian kredit. Perjanjian kredit dapat dibuat oleh bank dengan nasabahnya apabila Bank telah memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap nasabahnya yang akan menjadi debitur setelah analisis kredit dilaksanakan. Namun, pada kenyataannya perjanjian kredit disetujui dan ditandatangani serta kredit diberikan oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN tanpa Bank melakukan analisis kredit. Faktanya, PT. TM cq. PT. CGN tidak dapat memenuhi kewajiban untuk membayar utangnya kepada Bank Mandiri karena ketidaksanggupan debitur. Oleh karena itu, Bank Mandiri telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian alam pemberian kredit terhadap PT.TM cq. PT. CGN sehingga memberikan kerugian kepada Negara dan menyebabkan kredit macet kepada Bank Mandiri itu sendiri.

3.3  AKIBAT HUKUM TIDAK DILAKSANAKANNYA PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
Bank Mandiri tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit kepada PT.TM cq. PT. CGN. Pemberian kredit yang tidak sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan oleh Bank akan memberikan dampak sistemik baik kepada Bank itu sendiri maupun kepada Negara.
Dalam kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN ditemukan beberapa fakta hukum yang ternyata merugikan pihak Bank Mandiri. Salah satunya ditemukan mark up dalam permohonan kredit dan juga penipuan berupa pemberian keterangan palsu dalam nota analisa kredit dan perjanjian kredit. Mark up artinya terdapat tindak pidana korupsi dalam kasus pemberian kredit tersebut atas jumlah uang yang dilebih-lebihkan dari jumlah yang sebenarnya. Sedangkan, Penipuan tampak pada tujuan kredit oleh PT. CGN dan agunan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Pemberian kredit yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian menimbulkan celah adanya dampak pada pemutus kredit dari pihak bank yaitu para terdakwa. Hal ini terkait dengan tanggung jawab jabatan atas persetujuan dan tanda tangan dalam pemberian kredit Bridging Loan tanpa menerapkan serangkaian kegiatan untuk mejalankan prinsip kehati-hatian.
Akibat hukum untuk Bank Mandiri yaitu menimbulkan kredit bermasalah (macet) apabila ternyata :[24]
a.     Terjadi keterlambatan pembayaran kredit
b.     Tidak dilunasi sama sekali
c.     Diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran kembali pembiayaan
Pembayaran kredit pada kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT.CGN tidak lancar. Hal ini dikarenakan PT. TM cq. PT. CGN tidak memenuhi kewajiban (wanprestasi) untuk membayar utang setelah jatuh tempo. Selain itu, PT. CGN juga telah melakukan novasi kredit kepada PT. TM sebagai bukti bahwa PT. TM cq. PT. CGN tidak memiliki kemampuan untuk membayar kredit yang diberikan oleh Bank Mandiri yang disetujui Para Terdakwa.
Wanprestasi yang dilakukan oleh PT. TM cq PT. CGN atas kredit dari Bank Mandiri dan Mark Up jumlah kredit menyebabkan kerugian baik untuk Bank Mandiri dan Negara. Wanprestasi menyebabkan uang masyarakat yang berikan sebagai kredit untuk PT. TM cq. PT. CGN tidak dapat dikembalikan dan merugikan Bank Mandiri dan Negara. Selain itu, ditemukannya mark up menggambarkan terjadinya tindak pidana dalam pemberian kredit tersebut. Hal ini terbukti bahwa Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana Karen telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa para Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan.  

BAB IV
PENUTUP
4.1  KESIMPULAN
1.     Pemberian kredit kepada PT. TM oleh Susanto Lim (Group Domba Mas) cq. PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) oleh Bank Mandiri tidak memenuhi prinsip kehati-hatian Bank karena tidak dilaksanakan melalui tahapan penelitian mendalam untuk menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap debitur (PT. TM cq. PT. CGN) oleh kreditur (Bank Mandiri). Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pejabat Bank Mandiri selaku terdakwa diantaranya adalah tidak memastikan bahwa pemberian kredit didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan seksama, serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan; menyetujui pemberian kredit bridging loan kepada PT. CGN sejumlah Rp 160 Milyar yang mana Ketentuan Bank Indonesia dan Bank Mandiri tidak pernah mengatur fasilitas kredit Bridging Loan dan pembiayaan secara refiniancing; tidak melakukan penilaian atas kelayakan jumlah permohonan kredit dengan kegiatan usaha yang dibiayai; menyetujui nota analisa kredit Bridging Loan kepada PT. CGN yang tidak sesuai dengan kenyataannya; menyetujui Nota Analisa Bridging Loan tanpa mempunyai informasi lengkap tentang agunan pokok yang dibiayai oleh kredit tersebut; menyetujui Nota Analisa Bridging Loan kepada PT. CGN yang terbilang perusahaan baru; menyetujui Nota Analisa Bridging Loan tanpa memastikan terlebih dahulu kebenaran agunan kredit apakah telah diikat FEO atau belum; menyetujui Nota Analisa Bridging Loan yang tujuannya fiktif.
2.     Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. [25] Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang No.10 tahun 1998.
3.     Pemberian kredit yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian menimbulkan dampak pada pemutus kredit dari pihak Bank yaitu para terdakwa terkait dengan tanggung jawab jabatan. Akibat hukum terhadap Banknya sendiri adalah menimbulkan kredit macet (bermasalah) apabila terjadi keterlambatan pembayaran kredit atau tidak dilunasi sama sekali dan diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran kembali pembiayaan. Pembayaran kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN tidak lancar karena memenuhi unsur-unsur tersebut.

4.2  SARAN
1.     Bank Mandiri haruslah mencermati betul calon nasabah yang akan mengajukan fasilitas kredit (dalam kasus ini PT. TM cq. PT. CGN). Misalnya para karyawan Bank yang berhubungan langsung dengan nasabahnya harus memahami betul prinsip kehati-hatian serta tidak mudah tergiur oleh nasabah yang menjanjikan komisi untuk karyawan yang meloloskan krefit mereka. Bank juga harus tegas kepada karyawannya yang terbukti ingin menutupi cacat si nasabah agar nasabah tersebut mendapatkan fasilitas kredit serta memberlakukan sistem black list secara tegas.
2.     Prinsip kehati-hatian harus diatur jelas, mengenai sanksi dan bagaiamana jika prinsip tersebut tidak diterapkan khususnya dalam pemberian kredit. Karena akibat tidak diterapkannya prinsip ini akan merugikan baik pada bank itu sendiri dan Negara atau yang sering disebut dengan berdampak sistemik.



DAFTAR PUSTAKA
A.    BUKU
  Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

  Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

  Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah: Konsep dan Kasus, Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2008.

B.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/2006
C.   INTERNET
Elvyn G.Masassya, Independensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ekonomi/ek0001040.asp








[1] Sebagai salah satu sub-sistem industri jasa keuangan, industri perbankan sering dianggap sebagai jantungnya dan motor penggerak perekonomian suatu negara. Dalam kaitan ini Lovett mengatakan : “bank and financial institutions collect money and deposits from all elements of society and invest these funds in loans, securities and various other productive assets. Periksa William A Lovett, 1997, Banking and Financial Institutions Law, Westpublishing Co., USA, hal.1


[2] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta : UI-Press, 1984),  hlm. 52.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6] Rachmadi Usman, 2001, Apsek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.18
[7] Anwar Nasution, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbakan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997, hal.2
[8] Pasal 29 ayat 2 UU Perbankan
[9] Penjelasan pasal 29 ayat 1, 2, dan 3 UU Perbankan
[10] Self regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan pemerintah di sektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah., mempercepat proses konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip pengaturan sendiri (self regulation principles) dan kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh.
[11] Anwar Nasution, loc.cit.
[12] Sutan Remi Sjahdaeni, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya tanggal 16 Desember 1996, menyimpulkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah merupakan fiduciary relationship karena status bank yang istimewa di dalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat
[13] Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan     Membuat Koreksi, dalam http://www.kontan_online.com/05/31/aktual/akt1.htm
[14] Elvyn G.Masassya, Independensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ekonomi/ek0001040.asp
[15] Ibid.
[16] Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 256. 
[17] Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), Mandar Maju, 2004, hlm.16.

[18] H.R.Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 294.
[19] Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 165.
[20] Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/2006
[21] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
[22] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 18
[23] Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 256. 
[24] Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah: Konsep dan Kasus, Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2008, hlm. 1
[25] Rachmadi Usman, 2001, Apsek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.18

1 comment: