BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan nasional memerlukan
sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasaran-sasarannya: pertumbuhan
ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan
lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari
waktu ke waktu. Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan
khususnya industri perbankan menjadi sangat penting.
Sektor perbankan memiliki peran
yang sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian
nasional.[1]Lancarnya
aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan
demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir
dari kebijakan disektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan
juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter.
Bisnis perbankan merupakan
bisnis yang penuh resiko, disamping menjanjikan keuntungan yang besar jika
dikelola secara baik dan prudent. Dikatakan sebagai bisnis penuh resiko (full
risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan
masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
Besarnya peran yang diemban
oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka kran sebebas-bebasnya bagi siapa
saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis banknya tanpa
didukung atau diback-up dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah
melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan
bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas
perbankan.
Oleh karenanya, kebijakan
pemerintah disektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan
yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini
tidak lagi semata-mata memegang peranan penting dalam pengembangan
infrastruktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan
investasi tetapi juga berperan penting dalam memelihara kestabilan ekonomi
makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter.
Pelaksanaan prinsip
kehati-hatian merupakan hal penting guna mewujudkan sistem perbankan yang
sehat, kuat dan kokoh. Krisis perbankan yang melanda Indonesia sepanjang tahun
1997 hingga saat ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian dikalangan pelaku bisnis perbankan.
Bank yang pada hakikatnya
merupakan lembaga intermediasi di mana di satu sisi ia menampung dana dari
masyarakat dalam bentuk tabungan dan di sisi lain ia juga menyalurkan dana
tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sebagai pemberi kredit, bank
wajib menetapkan suatu kebijakan perkreditan agar tetap dapat memelihara
keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dan
menjamin lunasnya semua kredit yang disalurkan. Seperti dalam ketentuan pasal 8
Undang-undang perbankan disebutkan bahwa bank dalam memberikan kreditnya wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya.
Pada kesempatan pembahasan
makalah kali ini kami memilih studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1144 K/Pid/2006 pada studi kasus yang
terjadi pada Bank sebagai lembaga penghimpun dana yang juga merupakan lembaga
kepercayaan masyarakat memberikan pinjaman berupa Kredit tanpa menerapkan
prinsip kehati-hatian.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat Latar
Belakang yang ada pada makalah ini kami dalam menganalisa kasus memperhatikan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian
dalam memberikan kredit. Oleh karena itu kami menentukan perumusan masalah
dalam penulisan makalah kali ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana bentuk penerapan Prinsip Kehati-hatian
Bank dalam pemberian Kredit?
2.
Bagaimana Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada
studi kasus?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan
pada makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui bagaiamanakah penerapan Prinsip
Kehati-hatian dalam pemberian Kredit.
2.
Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan Prinsip
Kehati-hatian dalam studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/2006.
1.4 Metode Penelitian
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode
penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
hukum doctrinal. Pada penelitian jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai
apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu
sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, atau bahan hukum tersier.
Data sekunder dapat didefinisikan sebagai data-data yang
diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dokumen yang merupakan hasil
penelitian dan pengolahan orang lain, yang tersedia dalam bentuk
buku-buku/dokumentasi yang biasa disediakan diperpustakaan/milik pribadi
peneliti.[2]
Data sekunder terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
dan terdiri dari :
a.
Norma atau kaidah dasar,
yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
b.
Peraturan dasar:
·
Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945
·
Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawatan Rakyat
c.
Peraturan
perundang-undangan, yang terdiri dari :
·
Undang-Undang dan
peraturan yang setaraf;
Undang-undang
yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah KUHPerdata.
·
Peraturan Pemerintah dan
Peraturan yang setaraf;
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang hasil-hasil
penelitian, atau pendapat pakar hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus hukum dan ensiklopedia.
Alat pengumpulan data yang
digunakan oleh penulis adalah studi dokumen (kepustakaan). Sesuai dengan permasalahan yang akan
diteliti, seorang peneliti dapat memilih tipe penelitian yang akan
dipergunakannya. Penentuan tipe penelitian akan membantu peneliti dalam
kegiatan pengumpulan dan analisa data. Suatu penelitian dapat menggunakan satu
tipe penelitian atau perpaduan dari beberapa tipe penelitian.[3]
Tipe penelitian sendiri terbagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut
pandangnya. Tipe-tipe penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
ini adalah :
1. Dari sudut sifatnya, penelitian ini bersifat penelitian
deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan sesuatu gambaran
umum tanpa didahului adanya hipotesa terdahulu.[4]
Penelitian dengan sifat ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu
individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi
suatu gejala.[5]
2. Dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian fact finding. Penelitian ini memiliki
tujuan untuk menemukan fakta tentang suatu gejala yang diteliti.
3. Dari sudut penerapannya, penelitian ini merupakan penelitian
berfokus masalah. Dalam penelitian ini permasalahan yang diteliti didasarkan
pada teori atau dilihat kaitannya antara teori dan praktek.
4. Dari sudut ilmu yang dipergunakan, penelitian ini merupakan
penelitian mono disipliner, hal ini dikarenakan penelitian itu hanya didasarkan
pada satu disiplin ilmu.
1.5 Kerangka Penulisan
BAB I
Bab
ini berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan,
tujuan penelitian, , metode penelitian dan diakhiri dengan kerangka penulisan.
Dari bab tersebut dapat diketahui latar belakang diadakannya penelitian ini,
tujuannya sampai pada pandangan secara umum tentang hal-hal yang akan dibahas
dalam penulisan ini.
BAB II
Bab ini berupa pembahasan mengenai
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, khususnya Kredit Tanpa
Agunan (KTA) baik secara teori, doktrin dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
BAB III
Bab ini berupa rumusan dalam studi kasus
Putusan Mahkamah Agung No. . 106/Pid. B/2013/PN.Po
dan analisa berdasarkan teori, doktrin dan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
BAB IV
Bab ini merupakan bab
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis setelah
dilakukannya penelitian.
BAB II
TINJAUAN
UMUM PRINSIP KEHATI-HATIAN BANK DALAM PEMBERIAN KREDIT SERTA KETENTUAN DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
2.1 PENGATURAN PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM UU PERBANKAN
Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu
asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan
kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent)
dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. [6]
Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa
perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Ada satu pasal dalam UU
Perbankan yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian,
yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang No.10 tahun 1998.
Pasal 29 :
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank
sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan
usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip
kehati-hatian
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Jika memperhatikan judul Bab V
UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal
yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya ketentuan prudent banking sendiri merupakan bagian
dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi menurut Anwar Nasution,
ketentuan prudent banking termasuk
dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.[7]
Sebenarnya pengaturan
prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya,
seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan.
Pasal 8
“Dalam memberikan kredit, Bank Umum
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pasal 10 :
“Bank
Umum dilarang :
a. melakukan penyertaan modal, kecuali
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dan huruf c;
b. melakukan usaha perasuransian;
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7.
Pasal 11 :
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga, atau hal lain
yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok
yang sama dengan bank yang bersangkutan
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain
yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a.
Pemegang
saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor
bank;
b.
Anggota
dewan komisaris;
c.
Anggota
direksi;
d.
Keluarga
dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e.
Pejabat
bank lainnya; dan
f.
Perusahaan-perusahaan
yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf,c huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU
Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam
penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian
akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap
senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset,
kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan
dengan usaha bank.[8] Apa saja
yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan.
Dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip
kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern[9]
dalam bentuk self regulations.[10]
Ruang lingkup aturan prudent banking (pembinaan
dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap
kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit),
rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio
cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet),
transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.[11]
Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank
adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan
melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 4 di atas.
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko
kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal
kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin
adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat
keadaan bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi
tersebut telah tersedia, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini.
Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara
penempatan dana dari nasabah atau pembelian/penjualan Surat Berharga untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki
tanggung jawab terhadap para nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka
menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali
nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank
bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank denga
nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata,
melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduciary relationship).[12]
Pengaturan prudent
banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan
revisi atau pergantian, baik setelah lahirnya UU No.7 tahun 1992 maupun ketika
pemerintah mengundangkan UU No. 10 tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar
diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia.
Aturan-aturan tersebut misalnya :
1.
SK BI 30/11/KEP/DIR/1997
tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan bank
2.
SK BI 30/12/KEP/DIR/1997
tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat
3.
SK BI 30/46/KEP/DIR/1997
tentang pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembiayaan pengadaan
dan atau pengolahan tanah
4.
SK BI/31/16/UUPB/1998
tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum
5.
SK BI 31/177/KEP/DIR
tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum
6.
SE BI 31/17/UUPB/1998
tentang posisi devisa neto bank umum
7.
SE BI 31/18/UUPB/1998 tentang
pemantauan likuiditas bank umum
8.
SK BI 31/179/KEP/DIR
tentang pemantauan likuiditas bank umum
9.
SK BI
31/148/KEP/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif
10. SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif
11. SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank
umum
12. Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK Direksi BI
31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit
13. Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan
modal minimum bank]
14. Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi
keuangan bank
15. Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang rencana bisnis bank umum
16. Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang prinsip kehati-hatian
dalam aktivitas sekuritisasi aset bagi bank umum
17. dll
Sebagaimana halnya bank-bank di Negara-negara maju dan
berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank,
mengikuti ketentuan Bassel International Standard (BIS). Dalam rangka pemenuhan
kondisi perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS. Sampai saat
ini baru 12 aturan BIS yang siap diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan
CAR 8% dan Non Performing Loan (NPL) 5% yang harus segera dipenuhi bank-bank
sebelum akhir 2001.[13]
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan
prinsip dasar pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui
untuk diterapkan di Indonesia melalui komitmen yang dilakukan oleh BI dengan
IMF. 25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Mempunyai wewenang,
tanggung jawab dan tujuan yang jelas,
bersifat independen dan memiliki sumber daya yang cukup
2.
Kegiatan yang diizinkan
3.
Kriteria perizinan
4.
Otoritas untuk mengkaji
dan menolak usul
5.
Otoritas untuk
menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential)
6.
Kecukupan modal
7.
Standar kredit dan
monitoring
8.
Kebijakan dan prosedur
evaluasi terhadap kualitas aset
9.
Sistem informasi
manajemen bank
10. Ketentuan pinjaman terkait (BMPK)
11. Monitoring terhadap resiko
12. Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar
13. Mempunyai prosedur pengendalian resiko manajemen yang
komprehensif
14. Sistem pengendalian internal
15. Meningkatkan kode etik professional metode pengawasan bank
16. Meliputi off site dan on site
17. Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank
18. Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan
19. Mempunyai independensi
20. Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi
perbankan
21. Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang
lengkap dan akurat
22. Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan
mampu melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama
pengawasan internasional
23. Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi
24. Melakukan kerjasama antar pengawas, dan
25. Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank
asing[14]
Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan
BIS tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap perbankan, tetapi
juga lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat
empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang
notabene di bawah pengawasan bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan
kegiatan lembaga keuangan non-bank.[15]
2.2
Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit
Prinsip kehati-hatian ini juga wajib diterapkan
oleh Bank dalam memberikan kredit. Kredit
ataupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sangat berkaitan erat dengan
risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas
perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Bank harus
menentukan kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya dalam melaksanakannya kegiatan
usahanya sebagai lembaga yang memberikan kredit. Pasal 8 dan Pasal 15 UU
Perbankan menyebutkan bahwa Bank apapun jenisnya, dalam memberikan kredit wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Bank juga
wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
yang sekarang menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang
selanjutnya disebut UU OJK.
Sebelum
memberikan kredit, bank terlebih dahulu mengadakan analisis kredit, yang
bertujuan agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman, dalam
arti uang yang disalurkan pasti kembali.[16]
Bank akan mengalami bahaya besar apabila tidak dilakukan analisis kredit
terlebih dahulu. Setelah Bank memiliki keyakinan tentang nasabahnya, maka
barulah Bank dapat memberikan kredit kepada nasabahnya. Agar mendapatkan
keyakinan tersebut Bank melakukan serangkaian kegiatan yang berupa penilaian
terhadap faktor-faktor yang dikenal dengan prinsip 5C. Kelima faktor tersebut
adalah character, capacity, capital,
collateral, dan condition of economy.
Penilaian ini telah lama dikenal oleh Bank karena sudah ada prinsip ini sejak
Undang-Undang Perbankan yang lama yaitu UU Nomor 14 tahun 1967.
a. Character
Penilaian
watak atau karakter nasabah debitur yang dihubungkan dengan tanggung jawabnya
dalam membayar kredit. Penilaian ini didasarkan pada hubungan nasabah debitur
yang selama ini telah terjalin dengan bank. Penilaian juga dapat dilaksanakan
dengan perolehan data-data yang disampaikan dalam permohonan kreditnya. Bank
akan menilai apakah nasabah sudah secara jujur memberikan datanya kepada Bank,
sehingga dengan begitu Bank dapat menilai watak dari nasabah debitur tersebut.
b. Capacity
Nasabah
debitur tentunya mempunyai tujuan dari pengajuan kredit kepada Bank. Bank
kemudian akan melihat apakah nasabah debitur tersebut berdasarkan kemampuannya
dapat memenuhi pelunasan kredit tersebut. Bank akan melihat kemampuan nasabah
debitur tersebut, seperti latar belakang pendidikan atau pengalamannya.
c. Capital
Modal
yang dimiliki oleh nasabah debitur juga menjadi faktor keyakinan Bank dalam
memberikan kredit. Bank biasanya meminta laporang keuangan nasabah debitur,
yang nantinya akan dikaji oleh pihak Bank, apakah nasabah debitur tersebut
dengan modal yang dimilikinya dapat memenuhi pelunasan kreditnya.
d. Collateral
Jaminan
adalah salah satu faktor yang menjadi penentu keyakinan Bank dalam memberikan
kredit kepada nasabah debitur. Bank akan menilai apakah jaminan tersebut
nantinya dapat memenuhi pelunasan kredit dari nasabah debitur.
e. Condition of economy
Kondisi
ekonomi juga harus diperhatikan oleh pihak Bank dalam memberikan kredit.
Tentunya hal ini dikarenakan kredit sangat berhubungan erat dengan ekonomi.
Bank sebagai lembaga yang mempunyai fungsi intermediary
harus sangat berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya. Bank sebagai
jantung perekonomian negara tidak boleh sembarangan dalam melakukan kegiatan
usaha, karena nantinya akan sangat berpengaruh pada ekonomi negara. Begitu pula
dengan pemberian kredit, Bank harus memperhatikan apakah kondisi ekonomi saat
ini memungkinkan untuk memberikan kredit, dan seberapa besar jumlah kredit yang
dapat diberikan.
Selain
faktor-faktor tersebut, terdapat beberapa aturan lain yang harus dipenuhi dan
dipatuhi oleh Bank berkaitan dengan pemberian kredit. Prinsip
kehati-hatian dalam pelaksanaannya mengacu pada suatu ketetapan guna menjaga
kegiatan usaha bank agar tetap sehat dan stabil dan bertujuan agar bank dapat
melakukan kegiatan usahanya dengan aman sehingga bank dalam keadaan sehat.
Ketetapan tersebut antara lain adalah:
a.
Analisis Pembiayaan
Bank
harus mengajukan penilaian awal saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan
dengan berpedoman kepada 5C, 4P, 3R yaitu Character,
Capital, Capacity, Collateral, Condition of Economy, Party, Purpose, Profiliability, Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability nasabah pemohon.[17]
b.
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
Latar
belakang ditetapkannya ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah
agar bank melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa
agar tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam, atau bahkan sektor
tertentu, sehingga konsentrasi pemberian kredit dapat mengakibatkan risiko yang
sangat besar bagi bank.[18]
c.
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank/Capital Adequacy Ratio (CAR)
Posisi
CAR sangat tergantung pada:[19]
a. Jenis aktiva serta besarnya
risiko yang melekat padanya.
b. Kualitas aktiva atau tingkat
kolektibilitasnya.
c. Total aktiva suatu bank,
semakin besar aktiva, semakin bertambah pula risikonya.
d. Struktur posisi dan kualitas
permodalan bank.
e. Kemampuan bank untuk
meningkatkan pedapatan dan laba.
d.
Kualitas Aktiva Produktif
Aktiva
produktif menurut Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum, adalah penyediaan dana bank untuk memperoleh
penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank,
tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan,
transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu. Pasal 2 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia
No.7/2/PBI/2005 menyatakan, pelaksanaan dana oleh bank wajib dilaksanakan
berdasarkan prinsip kehati – hatian. Direksi bank wajib menilai, memantau, dan
mengambil langkah-langkah penting agar kualitas aktiva senantiasa baik dalam
rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian.
e. Giro
Wajib Minimum
Giro
Wajib Minimum berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.10/25/PBI/2008, adalah
simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening
Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar
persentase tertentu dari dana pihak ketiga.
Setelah
Bank melaksanakan analisis kredit terhadap nasabah debiturnya, dan Bank
tersebut memiliki keyakinan terhadapnya, maka kredit dapat diberikan dengan
dimulai dengan dibuatnya perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan salah
satu bentuk perjanjian yang berkaitan dengan utang piutang, yang dalam hal ini
adalah kredit. Perjanjian kredit tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, selanjutnya disebut KUHPerdata, namun sebagai salah satu bentuk perjanjian,
maka perjanjian kredit tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan umum
perjanjian dalam KUHPerdata.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 KASUS POSISI
PEMBERIAN KREDIT KEPADA PT.TAHTA MEDAN (PT.TM) KEPADA PT. CIPTA GRAHA NUSANTARA
(CGN)[20]
Edward Cornellis William Noloe, I Wayan Pugeg, M.
Sholeh Tasripan merupakan para terdakwa karena melakukan perbuatan hukum saat
melakukan pemberian kredit kepada PT.Tahta Medan (PT.TM) cq. PT. Cipta Graha
Nusantara (PT.CGN) oleh Bank Mandiri. E.C.W. Noloe, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh
Tasripan merupakan para pejabat Bank Mandiri dan bertindak sebagai pemutus
kredit terhadap Edyson, Saiful Anwar dan Diman Ponijan yang merupakan para
petinggi PT.TM cq. PT. CGN dan pemohon kredit kepada Bank Mandiri.
Adapun perbuatan melawan hukum yang dilakukan para
terdakwa selaku pemutus kredit dalam menyetujui pemberian kredit sejumlah Rp.
160 Milyar dalam Nota Analisis Kredit Bridging
Loan No. CGR.CRM/314/2002 kepada PT.TM cq. PT.CGN oleh Bank Mandiri adalah
:
1. Pada tanggal 23 Oktober 2002, Para terdakwa tidak
memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur,
objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang
berkepentingan karena pada saat itu pemeberian kredit yang seharusnya
berdasarkan permohonan fasilitas kredit sebesar USD 13.500.000,00 diproses
dengan pemberian kredit Bridging Loan sejumlah Rp. 160 Milyar sebelum nota
analisa kredit dibuat dan diterima oleh para Terdakwa.
2. Pada 24 Oktober 2002, Para terdakwa menyetujui
pemberian kredit bridging loan kepada PT. CGN sejumlah Rp. 160 Milyar. Padahal
Ketentuan Bank Indonesia dan Bank Mandiri tidak pernah mengatur fasilitas
kredit Bridging Loan dan pembiayaan secara refiniancing. Nota Analisa Kredit
No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 Perihal Permohonan Fasilitas
Bridging Loan atas Nama PT. CGN hanya dibuat dalam waktu satu haru padahal
kebiasaan pembuatan Nota Analsia membutuhkan waktu 1 minggu hingga 1 bulan.
3. Para terdakwa tidak melakukan penilaian atas
kelayakan jumlah permohonan kredit dengan proyek atau kegiatan usaha yang
dibiayai atau yang akan dibiayai dengan maksud menghindari kemungkinan
terjadinya praktek mark up yang dapat merugikan bank, melainkan Para terdakwa
langsung menyetujui pemberian kredit Bridging Loan Rp. 160 Milyar untuk
membiayai pembelian asset kredit oleh PT. TM, padahal PT. Trimanunggal Mandiri
Persada hanya membeli asset PT.TM dengan harga Rp. 97 Milyar sehigga kredit
yang disetujui para terdakwa terlalu mahal.
4. Para Terdakwa menyetujui nota analisa kredit Bridging Loan kepada PT. CGN yang tidak
sesuai dengan kenyataannya, dalam Nota Analisa Bridging Loan tersebut dijelaskan PT. CGN mengajukan fasilitas
kredit lnvestasi sebesar USD.18,500,000.00 (delapan belas juta lima ratus ribu
US Dollar) yang akan digunakan untuk membeli hak tagih eks Badan Penyehatan
Perbankan Nasional atas nama PT, Tahta Medan dari PT. Manunggal Wiratama
sebesar Rp. 160 milyar dan sisanya sebesar equivalen Rp.5 milyar ditambah self
financing dari PT. CGN sebesar Rp. 22.500.000.000,- digunakan untuk mentake
over saham yang dimiliki oleh pemegang saham PT. Tahta Medan yaitu Dana Pensiun
Bank Mandiri Tiga (DPBM3) dan PT. Pengelola Investasi Mandiri (PT. PIM) namun
kenyataannya PT. CGN tidak pernah menyetor self financing sejumlah Rp.
22.500.000.000,- dan saham PT. Pengelola Investama Mandiri tidak berhasil
dibeli atau ditake over, demikian pula saham Dana Pensiun Bank Mandiri Tiga
baru dibayar sejumlah Rp. 14.597,000.000 padahal seluruh harga saham sejumlah
Rp. 18.246.250.000 sehingga masih sisa Rp. 3.649.250.000, yang tidak dibayar.
5. Para Terdakwa menyetujui Nota Analisa Bridging loan tanpa mempunyai informasi
lengkap tentang agunan pokok yang dibiayai oleh kredit bridging loan sehingga agunan yang ternyata dijaminkan oleh PT.CGN
bukanlah milik PT. Manunggal Wiratama melainkan milik PT. Trimanunggal Mandiri
Persada.
6. Para Terdakwa menyetujui Nota Analisa Bridging Loan kepada PT. CGN padahal PT.
CGN merupakan perusahaan baru yang didirikan tanggal 23 April 2006 dan tidak
pernah menyerahkan neraca tahunan berjalan atau neraca pembukuan kepada Bank
Mandiri serta saham yang disetor hanya sebesar Rp 600.000.000,00
7. Para Terdakwa menyetujui Nota Analisa Bridging Loan dengan tidak memastikan
terlebih dahulu kebenaran bahwa agunan kredit telah diikat dengan Agunan
Fidusia Eigendom Overdracht (FEO) karena tidak ada akta notaril FEO atas
agunannya.
8. Para Terdakwa menyetujui Noata Analisa Bridging Loan dengan tujuan pembelian
asset kredit BPPN sebesan Rp 160 Milyat atas nama PT. Tahta Medan untuk
penyelesaian pembangunan Tiara Tower dan renovasi pembangunan Hotel Tiara Medan
padahal kenyataannya PT. CGN tidak menyelasiakan pembangunan Tiara Tower dan
renovasi bangunan Hotel Tiara Medan
Setelah
disetujui dan ditandatanganinya Nota Analisa Bridging Loan sebesar Rp 160 Milyar yang dibuat tidak sesuai
ketentuan dan kenyataan sebenarnya pada tanggal 25 Oktober 2002, Uang sejumlah
Rp 160 Milyar telah dicairkan kepada PT.CGN.
PT. CGN, saat jatuh tempo, hanya membayar angsuran
tanggal 23 Juni 2005 sebesar USD 150.000 sehingga angsuran pokok yang tidak
dibayar sebesar USD 6.150.000. Sesuai dengan Akte Notaris Machrani Moertolo Soenarto, SH
No. 79 tanggal 19 Desember 2003 tentang Novasi atau pembaharuan hutang dengan
pergantian debitur baru kepada PT. TM dari
PT. CGN. Walaupun sudah dilakukan novasi kredit, namun pembayaran angsuran pokok
sesuai dengan jadwal pembayaran PT. Tahta Medan harus membayar angsuran pokok
Desember 2003 sampai dengan 23 Juni 2005 sejumlah USD.6,300,000.00.
Pada tanggaI 19 Maret 2004,
saksi Edyson selaku Direktur Utama PT. Tahta Medan menyurat kepada PT. Bank
Mandiri No. 001/TM-Jk/CBT-H/IIl/2004 perihal Permohonan rescheduling atas
angsuran KI dan KMK yang pada pokoknya memohon memberi kelonggaran untuk
penjadwalan kembali (rescheduling) kelonggaran waktu untuk rnemenuhi kewajjban
pokok Kredit Investasi. Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 2004 saksi Edyson
kembali mengirim surat kepada PT. Bank Mandiri perihal Permohonan Penghapusan
denda bunga kredit Investasi. Selanjutnya pada surat
tersebut dibuatkan nota analisa No. CBG.CR1/CA1.044/2004 tanggal 25 Juni 2004
perihal permohonan penjadwalan kembali angsuran pokok fasilitas Kredit
lnvestasi atas nama PT. Tahta Medan (Group Domba Mas). Nota analisa tersebut
disetujui para terdakwa. Tindakan rescheduling merupakan
tindakan penyelamatan karena telah diketahui cash flow PT. Tahta Medan tidak
cukup mampu membayar kewajiban angsuran pokok sesuai jadwal yang ditetapkan dan
penyelesaian pembangunan Tiara Tower serta renovasi hotel Tiara tidak
terealisasikan di samping itu kolektibilitas kredit PT. Tahta Medan tergolong
kolektibilitas 3 (sama dengan kurang lancar).
Dalam nota analisa
rescheduling yang disetujui Terdakwa E.C.W. Neloe dari M. Sholeh Tasripan
dijelaskan bahwa permasalahan tidak terpenuhinya pembayaran pokok kredit
sehingga tergolong kurang lancar, karena adanya permasalahan dengan salah satu
penyewa tower yaitu "The Song". Permasalahan penyewa "The
Song" sebenarnya sudah ada pada saat para Terdakwa menyetujui kredit Bridging Loan. Seharusnya jika para
Terdakwa bertindak hati-hati, cermat dan teliti serta mematuhi ketentuan-ketentuan tentang pemberian kredit, maka permasalahan
tersebut dapat diketahui para Terdakwa dan kredit Bridging Loan atau kredit Investasi seharusnya tidak disetujui
sehingga dana PT. Bank Mandiri sejumlah Rp.165 milyar tidak seharusnya
dicairkan
3.2 PRINSIP
KEHATI-HATIAN (PRUDENTIAL BANKING)
DALAM PEMBERIAN KREDIT KEPADA PT.TM cq. PT CIPTA GRAHA NUSANTARA (CGN) OLEH BANK MANDIRI
Dalam kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri
kepada PT.TM cq. PT. CGN, pemberian kredit tidak dilaksanakan melalui tahapan
penelitian mendalam untuk menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap debitur
oleh Bank Mandiri. Kredit diberikan dengan dalam proses yang singkat dan tidak
sesuai dengan prosedur dalam ketentuan atau peraturan perundang-undangan
perbankan. Para Terdakwa merupakan pejabat Bank Mandiri yang bertanggung jawab
atas pemberian persetujuan kredit kepoada debitur yaitu PT. TM cq. PT. CGN.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.[21]
Kredit diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga dengan demikian
pemberian kredit merupakan kepercayaan kepada nasabah. Kredit terdiri dari 4
unsur yaitu kepercayaan, tenggang waktu, degree
of risk, dan prestasi atau objek kredit.
Di sisi lain, Prinsip kehati-hatian disebutkan
dalam Pasal 2 UU Perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Prinsip
kehati-hatian ini adalah dimana bank dalam menjalankan fungsi dan
kegiatan-kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati. Prinsip kehati-hatian
adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi
dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi
masyarakat yang dipercayakan kepadanya.[22] Hal ini juga
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) PBI 13/1/pbi/2011 tentang Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum yang menjelaskan bahwa bank wajib memelihara dan/atau
meningkatkan kesehatan bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen rasio dalam melaksanakan kegiatan usaha.
Pada prinsipnya, Bank harus memperhatikan
prinsip-prinsip pemberian kredit yang benar dengan melakukan penelitian
mendalam mengenai calon debitur yang akan menerima kredit. Penelitian mendalam
ini dilakukan untuk melihat kelayakan calon debitur untuk memperoleh kredit.
Penelitian secara mendalam mengenai calon debitur untuk memberikan keyakinan kepada
bank bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan dikemblaikan dan fungsi dari
jaminan kredit hanyalah untuk berjaga-jaga. Prinsip kehati-hatian wajib
diterapkan oleh bank dalam memberikan kredit. Kredit harus dilaksanakan harus
memperhatikan asas-asas perkreditan dan prinsip kehati-hatian. Pasal 8 dan
Pasal 15 UU Perbankan menyebutkan bahwa Bank apapun jenisnya, dalam memberikan
kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad
dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sebelum memberikan kredit, bank terlebih dahulu
mengadakan analisis kredit, yang bertujuan agar bank yakin bahwa kredit yang
diberikan benar-benar aman, dalam arti uang yang disalurkan pasti kembali.[23]
Bank akan mengalami bahaya besar apabila tidak dilakukan analisis kredit
terlebih dahulu. Setelah Bank memiliki keyakinan tentang nasabahnya, maka
barulah Bank dapat memberikan kredit kepada nasabahnya.
Agar mendapatkan keyakinan tersebut Bank melakukan
serangkaian kegiatan yang berupa penilaian terhadap faktor-faktor yang dikenal
dengan prinsip 5C. Kelima faktor tersebut adalah character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy. Pada kenyataannya berdasarkan praktek dalam
kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN ini, Bank
Mandiri tidak melaksanakan analisis kredit agar Bank Mandiri memiliki keyakinan
terhadap nasabahnya yaitu PT. TM cq. PT. CGN. Bank Mandiri tidak melaksanakan
serangkaian kegiatan terhadap faktor-faktor prinsip 5C terhadap PT. TM cq.
PT.CGN karena Nota Analisa Bridging Loan
dibuat, disetujui dan ditandatangani dalam waktu yang singkat tanpa ada laporan
analisis yang sesuai dengan hasil pemeriksaan melainkan hanya berdasarkan
keterangan dari nasabah. Hal tersebut jelas melanggar ketentuan hukum mengenai
pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit oleh Bank kepada
nasabahnya dan dapat mempengaruhi kesehatan Bank apabila hal yang yang
dijelaskan oleh Nasabah tidak sesuai dengan kenyataannya atau Nasabah melakukan
penipuan terhadap Bank.
Selain analisis kredit, agar prinsip kehati-hatian
terpenuhi, Bank harus melihat besar kredit yang diminta dan akan diberikan
kepada nasabah karena adanya ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
dari Bank. Pada kasus Pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT.
CGN, Para Terdakwa menyetujui pemberian kredit sebesar Rp. 160 Milyar dengan
alasan kredit akan digunakan dengan tujuan pembelian asset kredit BPPN sebesar
Rp 160 Milyar untuk penyelesaian pembangunan Tiara Tower dan renovasi
pembangunan Hotel Tiara. Pada kenyataannya uang tersebut tidak digunakan oleh
PT.TM cq PT. CGN untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Selain itu, tujuan analisis kredit dan penentuan
BMPK ini adalah menghidari adanya praktek mark
up yang dapat merugikan bank. Hal ini terjadi pada kasus ini, Para Terdakwa
menyetujui pemberian kredit Bridging Loan
sebesar 160 Milyat untuk membiayai pembelian asset kredit PT. TM padahal PT.
Trimanunggal Mandiri Persada hanya membeli asset PT. TM hanya dengan harga Rp
97 Milyar. Adanya kelebihan pemberian kredit membuktikan adanya mark up permohonan kredit, hal ini
diakibatkan oleh kredit yang diberikan tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pada dasarnya, Kredit diberikan oleh Bank dengan
membuat perjanjian kredit. Perjanjian kredit dapat dibuat oleh bank dengan
nasabahnya apabila Bank telah memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap
nasabahnya yang akan menjadi debitur setelah analisis kredit dilaksanakan.
Namun, pada kenyataannya perjanjian kredit disetujui dan ditandatangani serta
kredit diberikan oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN tanpa Bank
melakukan analisis kredit. Faktanya, PT. TM cq. PT. CGN tidak dapat memenuhi
kewajiban untuk membayar utangnya kepada Bank Mandiri karena ketidaksanggupan
debitur. Oleh karena itu, Bank Mandiri telah lalai menerapkan prinsip
kehati-hatian alam pemberian kredit terhadap PT.TM cq. PT. CGN sehingga
memberikan kerugian kepada Negara dan menyebabkan kredit macet kepada Bank
Mandiri itu sendiri.
3.3 AKIBAT HUKUM
TIDAK DILAKSANAKANNYA PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
Bank Mandiri tidak menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam memberikan kredit kepada PT.TM cq. PT. CGN. Pemberian kredit yang tidak
sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan oleh Bank akan memberikan
dampak sistemik baik kepada Bank itu sendiri maupun kepada Negara.
Dalam kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri
kepada PT. TM cq. PT. CGN ditemukan beberapa fakta hukum yang ternyata
merugikan pihak Bank Mandiri. Salah satunya ditemukan mark up dalam permohonan kredit dan juga penipuan berupa pemberian
keterangan palsu dalam nota analisa kredit dan perjanjian kredit. Mark up artinya terdapat tindak pidana
korupsi dalam kasus pemberian kredit tersebut atas jumlah uang yang
dilebih-lebihkan dari jumlah yang sebenarnya. Sedangkan, Penipuan tampak pada
tujuan kredit oleh PT. CGN dan agunan yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
Pemberian kredit yang tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian menimbulkan celah adanya dampak pada pemutus kredit dari pihak
bank yaitu para terdakwa. Hal ini terkait dengan tanggung jawab jabatan atas
persetujuan dan tanda tangan dalam pemberian kredit Bridging Loan tanpa menerapkan serangkaian kegiatan untuk
mejalankan prinsip kehati-hatian.
Akibat hukum untuk Bank Mandiri yaitu menimbulkan
kredit bermasalah (macet) apabila ternyata :[24]
a. Terjadi keterlambatan pembayaran kredit
b. Tidak dilunasi sama sekali
c. Diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran
kembali pembiayaan
Pembayaran kredit
pada kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT.CGN tidak
lancar. Hal ini dikarenakan PT. TM cq. PT. CGN tidak memenuhi kewajiban
(wanprestasi) untuk membayar utang setelah jatuh tempo. Selain itu, PT. CGN
juga telah melakukan novasi kredit kepada PT. TM sebagai bukti bahwa PT. TM cq.
PT. CGN tidak memiliki kemampuan untuk membayar kredit yang diberikan oleh Bank
Mandiri yang disetujui Para Terdakwa.
Wanprestasi yang
dilakukan oleh PT. TM cq PT. CGN atas kredit dari Bank Mandiri dan Mark Up jumlah kredit menyebabkan
kerugian baik untuk Bank Mandiri dan Negara. Wanprestasi menyebabkan uang
masyarakat yang berikan sebagai kredit untuk PT. TM cq. PT. CGN tidak dapat
dikembalikan dan merugikan Bank Mandiri dan Negara. Selain itu, ditemukannya mark up menggambarkan terjadinya tindak
pidana dalam pemberian kredit tersebut. Hal ini terbukti bahwa Majelis Hakim
menjatuhkan hukuman pidana Karen telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
para Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan
berkelanjutan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Pemberian
kredit kepada PT. TM oleh Susanto Lim (Group Domba Mas) cq. PT. Cipta Graha
Nusantara (PT. CGN) oleh Bank Mandiri tidak memenuhi prinsip kehati-hatian Bank
karena tidak dilaksanakan melalui tahapan penelitian mendalam untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian terhadap debitur (PT. TM cq. PT. CGN) oleh kreditur (Bank
Mandiri). Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pejabat Bank Mandiri
selaku terdakwa diantaranya adalah tidak memastikan bahwa pemberian kredit
didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan seksama, serta
terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan; menyetujui pemberian
kredit bridging loan kepada PT. CGN sejumlah Rp 160 Milyar yang mana Ketentuan
Bank Indonesia dan Bank Mandiri tidak pernah mengatur fasilitas kredit Bridging
Loan dan pembiayaan secara refiniancing; tidak melakukan penilaian atas
kelayakan jumlah permohonan kredit dengan kegiatan usaha yang dibiayai;
menyetujui nota analisa kredit Bridging Loan kepada PT. CGN yang tidak sesuai
dengan kenyataannya; menyetujui Nota Analisa Bridging Loan tanpa mempunyai
informasi lengkap tentang agunan pokok yang dibiayai oleh kredit tersebut;
menyetujui Nota Analisa Bridging Loan kepada PT. CGN yang terbilang perusahaan
baru; menyetujui Nota Analisa Bridging Loan tanpa memastikan terlebih dahulu
kebenaran agunan kredit apakah telah diikat FEO atau belum; menyetujui Nota
Analisa Bridging Loan yang tujuannya fiktif.
2. Prinsip kehati-hatian (prudent
banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa
bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya. [25]
Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa
perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ada satu pasal dalam UU Perbankan
yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal
29 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang No.10 tahun 1998.
3. Pemberian
kredit yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian menimbulkan dampak pada
pemutus kredit dari pihak Bank yaitu para terdakwa terkait dengan tanggung
jawab jabatan. Akibat hukum terhadap Banknya sendiri adalah menimbulkan kredit
macet (bermasalah) apabila terjadi keterlambatan pembayaran kredit atau tidak
dilunasi sama sekali dan diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran kembali
pembiayaan. Pembayaran kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. TM cq. PT. CGN tidak
lancar karena memenuhi unsur-unsur tersebut.
4.2 SARAN
1. Bank
Mandiri haruslah mencermati betul calon nasabah yang akan mengajukan fasilitas
kredit (dalam kasus ini PT. TM cq. PT. CGN). Misalnya para karyawan Bank yang
berhubungan langsung dengan nasabahnya harus memahami betul prinsip
kehati-hatian serta tidak mudah tergiur oleh nasabah yang menjanjikan komisi
untuk karyawan yang meloloskan krefit mereka. Bank juga harus tegas kepada
karyawannya yang terbukti ingin menutupi cacat si nasabah agar nasabah tersebut
mendapatkan fasilitas kredit serta memberlakukan sistem black list secara
tegas.
2. Prinsip kehati-hatian harus diatur jelas, mengenai
sanksi dan bagaiamana jika prinsip tersebut tidak diterapkan khususnya dalam
pemberian kredit. Karena akibat tidak diterapkannya prinsip ini akan merugikan
baik pada bank itu sendiri dan Negara atau yang sering disebut dengan berdampak
sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah: Konsep dan Kasus, Jakarta: PT. Damar
Mulia Pustaka, 2008.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/2006
C.
INTERNET
Elvyn
G.Masassya, Independensi Bank Indonesia, dalam
http://www.cides.or.id/ekonomi/ek0001040.asp
[1] Sebagai salah satu sub-sistem industri jasa
keuangan, industri perbankan sering dianggap sebagai jantungnya dan motor
penggerak perekonomian suatu negara. Dalam kaitan ini Lovett mengatakan : “bank
and financial institutions collect money and deposits from all elements of
society and invest these funds in loans, securities and various other
productive assets. Periksa William A Lovett, 1997, Banking and Financial
Institutions Law, Westpublishing Co., USA, hal.1
[2] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta : UI-Press,
1984), hlm. 52.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[6] Rachmadi Usman, 2001, Apsek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.18
[7]
Anwar Nasution, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan
Pengawasan Perbakan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat
terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada seminar tentang
“Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel
Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997, hal.2
[8]
Pasal 29 ayat 2 UU Perbankan
[9] Penjelasan pasal 29 ayat 1, 2, dan 3 UU
Perbankan
[10] Self
regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip
kehati-hatian. Dalam kebijakan pemerintah di sektor perbankan tahun 1994
disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses
penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah., mempercepat proses
konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip pengaturan sendiri
(self regulation principles) dan
kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan
pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan
tangguh.
[11]
Anwar Nasution, loc.cit.
[12] Sutan Remi Sjahdaeni, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi
Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan
Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya tanggal 16 Desember
1996, menyimpulkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah merupakan fiduciary relationship karena status
bank yang istimewa di dalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya
berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat
[13]
Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi, dalam http://www.kontan_online.com/05/31/aktual/akt1.htm
[14]
Elvyn G.Masassya, Independensi Bank Indonesia, dalam
http://www.cides.or.id/ekonomi/ek0001040.asp
[16] Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika,
2010, hlm. 256.
[17] Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan
Konsumtif dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi),
Mandar Maju, 2004, hlm.16.
[18] H.R.Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2005, hlm 294.
[19] Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 165.
[20] Putusan Mahkamah Agung Nomor 1144
K/Pid/2006
[21] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan
[22] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan
di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 18
[23] Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika,
2010, hlm. 256.
[24] Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah: Konsep dan Kasus, Jakarta: PT. Damar
Mulia Pustaka, 2008, hlm. 1
[25] Rachmadi Usman, 2001, Apsek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.18
izin copi ya.. trims banget atas tulisannya
ReplyDelete