1.
Definisi
Pengertian kuasa merujuk pada wewenang, jadi pemberian kuasa
berarti pemberian/pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa,
untuk mewakili kepentingannya.
1.
2. Kuasa
Pada Umumnya
·
Pasal 1972 BW
mendefiniskan pemberian kuasa adalah “suatu pesetujuan dengan mana seseorang
memberikan kuasanya (wewenang) kepada orang lain , yang menerimanya untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan”
·
Adapun sifat
pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
1.
Pemberian Kuasa terjadi
dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya;
2.
Si kuasa tidak dibolehkan
melakukan Sesuatu apapun yang melampui kuasanya;
3.
Si Pemberi kuasa dapat
menggugat secara langsung orang dengan siapa si kuasa telah bertindak dalam
kedudukannya dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan
persetujuannya ;
·
Kewajiban Si Penerima
Kuasa diatur dalam pasal 1800-1806 BW sedangkan Kewajiban dari Si Pemberi Kuasa
itu diatur dalam Pasal 1807-1812 BW.
·
Berakhirnya Surat Kuasa
diatur dalam pasal 1813-1819 BW, yaitu sebagai berikut :
1.
Ditariknya kembali kuasa
si Penerima Kuasa
2.
Dengan pemberitahuan
penghentian kuasanya oleh si kuasa;
3.
Dengan Meninggal,
Pengampuan, pailitnya si Pemberi Kuasa atau penerima Kuasa;
4.
Dengan Kawinnya Permpuan
yang memberi kuasa atau menerima kuasa. Setelah SEMA No.1115/B/3932/M/1963 dan Undang-Undang Pokok
Perkawinan No,or 1 tahun 1974, maka ketentuan tersebut tidak berlaku lagi;
5.
Pengangkatan kuasa baru
untuk mengurus hal yang sama menyebabkan ditariknya kuasa pertama.
·
Jenis
Kuasa
Menurut M. Yahya Harahap, SH dikatakan ada 3 (tiga) Jenis kuasa:
·
Kuasa Umum
Kuasa Umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata, dimana kuasa
umum bertujuan untuk memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan
pemberi kuasa mengenai pengurusan , yang disebut berharder untuk mengatur
kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian , dari segi hukum , surat kuasa umum
tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa.
Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan
pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa haruslah mendapat surat
kuasa khusus.
·
Kuasa Khusus
Adapun pengaturan mengenai surat kuasa khusus diatur dalam pasal
1975 BW yaitu mengenai pemberian kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau
lebih. Agar bentuk kuasayang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa
khusus di depan pengadilan , kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu
dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 123 HIR.
·
Kuasa Istimewa
Kuasa Istimewa diatur dalam pasal 1796 BW dikaitkan dengan Pasal
157 HIR atau Pasal 184 RBG
2. Dasar Hukum
Maksud dari Kuasa Menurut Hukum bahwa Undang-Undang sendiri
telah menetapkan seseorang atau suatu badan dengan sendirinya menurut hukum
bertindak mewakili orang atau badan itu sendiri tanpa memerlukan surat kuasa.
·
Pasal 1 butir 5
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Direksi
atau Pengurus Badan Hukum :
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
·
Pasal 103 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang
karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama
Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam
surat kuasa.
·
Penjelasan Pasal 103 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Yang dimaksud “kuasa” adalah kuasa khusus untuk perbuatan
tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.
·
Pasal 6 Peraturan
Pemerintah No. 12 Tahun 1998 Tentang Perseroan Terbatas
Direksi adalah organ PERSERO yang bertugas melaksanakan
pengurusan PERSERO untuk kepentingan dan tujuan PERSERO, serta mewakili PERSERO
baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·
Pasal 123 ayat (1) HIR
1. Kuasa secara Lisan[1];
Kuasa ini dinyatakan secara lisan oleh Penggugat di hadapan
Ketua Pengadilan Negeri, dan pernyataan pemberian kuasa secara lisan tersebut
dinyatakan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
2. Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan;
Penggugat dalam surat gugatannya, dapat langsung mencantumkan
dan menunjuk Kuasa Hukum yang dikehendakinya untuk mewakili dalam proses
pemeriksaan perkara. Dalam praktek, cara penunjukan seperti itu tetap saja
didasarkan atas Surat Kuasa Khusus yang telah dicantumkan dan dijelaskan pada
surat gugatan.
3. Surat Kuasa Khusus.
Pengertian dan definisi dari Surat Kuasa Khusus tidak di atur
secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) maupun
HIR, akan tetapi dapat diikhtisarkan esensi dari Surat Kuasa Khusus yaitu : (i)
yang meliputi pencantuman kata-kata “Khusus” dalam surat kuasa,
(ii) yang berisikan pengurusan kepentingan tertentu pemberian kuasa yang dibuat
dan ditandatangani khusus untuk itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1795 KUH Perdata.
Berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di pengadilan negeri
oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang Kuasa Hukum dalam pemberian Surat Kuasa Khusus
adalah :
1.
Identitas
para pihaknya;
2.
Pokok dan obyek
sengketanya;
3.
Wilayah kewenangan
pengadilan tempat gugatan diajukan;
4.
Penyebutan kata-kata
“KHUSUS” dan klausul khususnya;
5.
Hak-hak penerima Kuasa,
yaitu hak substitusi dan hak retensi;
6.
Tanggal dibuatnya Kuasa
Khusus;
7.
Tanda tangan para
pihaknya, sebagai persetujuan.
Pasal 123 ayat (1) HIR hanya menyebutkan tentang syarat pokok
saja, yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang biasa disebut surat
kuasa khusus. Hal inilah yang menyebabkan di masa lalu surat kuasa khusus
dibuat sangat sederhana sekali karena cukup berisi pernyataan penunjukan kuasa
dari pemberi kuasa yang berisikan formulasi “memberikan kuasa kepada seseorang
untuk mewakili pemberi kuasa menghadap di semua pengadilan”.
Oleh karenanya, dengan berjalannya waktu diperlukan penyempurnaan
yang benar-benar berciri surat kuasa khusus, yang dapat membedakannya dengan
surat kuasa umum. Penyempurnaan dan perbaikan itu, dilakukan Mahkamah
Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”), yaitu diantaranya :
1.
SEMA Nomor 2 Tahun 1959,
tanggal 19 Januari 1959;
2.
SEMA Nomor 5 Tahun 1962,
tanggal 30 Juli 1962;
3.
SEMA Nomor 01 Tahun 1971,
tanggal 23 Januari 1971; dan
4.
SEMA Nomor 6 Tahun 1994,
tanggal 14 Oktober 1994.
·
Berdasarkan ke-4 SEMA No.
6 Tahun 1994 tersebut diatas, menyatakan :
Untuk menciptakan keseragaman dalam hal pemahaman terhadap Surat
Kuasa Khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada Badan-badan
Peradilan, maka dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
1.
Surat Kuasa harus
bersifat khusus dan menurut Undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa
surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
1.
dalam perkara perdata
harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat,
misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.
2.
Dalam perkara pidana
harus dengan jelas menyebut Pasal-pasal KUHAP yang
didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
1.
Apabila dalam
surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula
pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut
tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan suatu surat
khusus yang baru.
2.
Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi.
Sebagian besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan
tertentu.
1.
a. Eksepsi nebis
in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata.
Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari
pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya.
2.
b. Eksepsi
Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang
berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan
mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian
harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).
Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :
3.
c. Eksepsi
Tidak Berwenang Mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan
dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara Absolut dan
eksespsi karena pengadilan tidak berwenang secara Relatif. Dan
untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118
HIR dan Pasal 99 Rv.
Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan
kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor
sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa
hak opsi), tempat tinggal tergugat, forum rei sitae, forum
rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan.
Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual
diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis
dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :
1.
d. Eksepsi
Surat Kuasa Khusus Tidak Sah[2], dalam
hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa
bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara
dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 123 HIR.
Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil
sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971
(23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan eksepsi
karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa
yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU No 40 tahun 2007
tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan
adalah direksi.
[2] http://ercolaw.com/index.php?option=com_content&view=article&id=59:resume-tentang-eksepsi&catid=25:the-project&Itemid=50
No comments:
Post a Comment