Search This Blog

Wednesday, 13 May 2015

Penggugat Meninggal Dunia, Sedangkan Perkara Perdata Masih Berjalan

Penggugat Meninggal Dunia dalam Perkara Perdata,
–          Terdapat Surat Kuasa, Kuasa Hukum
–          Perkara sudah sampai pada Tingkat Banding di Pengadilan Tinggi
–          Ada ahli waris

Dalam hukum, jika penggugat yang masih dalam proses beracara meninggal dunia, secara otomatis surat kausa itu gugur dengan sendirinya, karena pemberi kuasa sudah tidak dapat menerima hak dan tanggung jawab didalam hukum, dan proses persidangan tidak dapat dilanjutkan (dipending).[1]
Tetapi perkara tersebut dapat dilanjutkan kembali, ketika ahli waris penggugat mengajukan pemohonan untuk melanjutkan proses persidangan (dengan menunjukan bukti-bukti yang kuat bahwa orang tersebut adalah ahli waris). 
Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 April 1958 Reg. No. 5k/Sip/1957 menentukan, bahwa untuk mengajukan gugatan cukup diajukan oleh salah seorang ahli waris saja. Tidak hanya itu saja, ahli waris juga dapat menunjuk pengacara yang lama atau baru guna melanjutkan peradilan tersebut dan itu juga harus membuat surat kuasa baru.
Untuk melanjutkan perkara itu, ahli waris terlebih dahulu mengurus penetapan ahli waris atau Surat Keterangan Ahli Waris dari Pengadilan Negeri (bagi yang bukan beragama Islam) atau Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau sekarang cukup Surat keterangan Ahli Waris dari Kepala Desa atau Kepala Kelurahan setempat dan diketahui oleh Camat. Kemudian, secara tertulis menyampaikan permohonan kepada Pengadilan Negeri tentang kehendaknya melanjutkan perkara tersebut.
Yurisprudensi mengenai Penggugat yang meninggal Dunia :
1.        Putusan MA-RI No.431.K/Sip/1973, tanggal 9 Mei 1974 : Dengan meninggalnya Penggugat asli dan tidak adanya persetujuan dari semua ahli warisnya untuk melanjutkan gugatan semula, gugatan harus dinyatakan gugur;
2.        Putusan MA-RI No.516.K/Sip/1973, tanggal 25 Nopember 1975 : Pertimbangan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan, karena menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung : tidak diharuskan semua ahli waris menggugat;


Conflict of Interest dalam Pasar Modal

Pasar modal merupakan bagian dari pasar keuangan. Pasar keuangan meliputi pasar uang (money market); pasar modal (capital market); dan lembaya pembiayaan lainnya. Pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar yang memperjualbelikan berbagai instrument keuangan (sekuritas) jangka panjang, baik dala, bentuk utang maupun modal sendiri yang diterbitkan oleh perusahaan swasta.[1]
Secara umum alasan pembentukan pasar modal adalah Karena lembaga ini mampu menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan. Dalam menjalankan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender (pemilik dana) ke borrower (penerima dana) dengan menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki pemberi dana (lenders) dengan mengharapkan akan mendapatkan imbalan dari penyertaan dana tersebut. Sedangkan dari sisi kepentingan borrowers, dengan tersedianya dana dari pihak luar memungkinkan perusahaan tersebut melakukan pengembangan kegiatan bisnis tanpa harus menunggu dana dari hasil produksi perusahaan. Fungsi ini juga sebenarnya dilakukan oleh lembaga keuangan lainnya, perbankan. Tetapi ada perbedaannya, dana yang diperoleh dari pasar modal akan dimasukkan sebagai modal, sedangkan dana dari perbankan adalah dana passive (utang) yang akan jatuh tempo dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan penyertaan (dana) melalui pasar modal berjangka panjang (lebih dari satu tahun).[2]
Transaksi yang mengandung benturan kepentingan adalah suatu transaksi dimana kepentingan-kepentingan ekonomis perusahaan berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi direksi atau komisaris atau juga pemegang saham utama dari perusahaan tersebut. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu perusahaan seringkali melakukan berbagai transaksi guna mencapai keuntungan yang maksimal.
Adakalanya transaksi-transaksi yang dibuatnya tersebut dilakukan dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan, namun di sisi lain pihak tersebut juga memiliki kepentingan pribadi atas berlangsungnya transaksi-transaksi tersebut, misalnya transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan direktur, atau dengan komisaris, atau dengan pemegang saham utama perusahaan tersebut.
Dalam hal demikian, maka transaksi-transaksi yang dilakukan perusahaan dengan pihak-pihak: direktur, komisaris, pemegang saham utama atau pihak terafiliasi lainnya, adalah suatu transaksi yang mengandung benturan kepentingan. Dengan kekuasaannya direksi dapat mengambil keputusan untuk bertransaksi demi kepentingannya atau kepentingan pihak lain, bukan demi perseroan. Hal yang demikian tentu saja melanggar prinsip fiduciary duty yang melekat di pundak pengurus perseroan. Keterbukaan sangat diperlukan atas transaksi-transaksi yang mungkin mengandung suatu conflict of interest.
Untuk menciptakan pasar modal yang baik, besar dan diperhitungkan maka pasar modal tersebut harus dapat melindungi kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) merupakan landasan hukum pasar modal di Indonesia yang memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat didalamnya.  Untuk kepentingan investor, UU Pasar Modal mengharuskan emiten untuk melaksanakan prinsip keterbukaan. Sebaliknya juga demikian UU Pasar Modal juga memberikan perlindungan kepada emiten.
Kepentingan antara emiten dengan investor seringkali menimbulkan pertentangan (conflict of interest). Untuk itu dituntut adanya keseimbangan diantara dua kepentingan tersebut. Keseimbangan ini tercermin didalam prinsip yuridis yang menyatakan bahwa suatu keterbukaan (disclosure) dalam pasar modal tidak semata-mata “full”tetapi juga harus “fair”. Hal ini dikenal dengan istilah full and fairdisclosure.[3]
Emiten berkewajiban untuk melaksanakan keterbukaan ketika emiten akan melakukan penawaran umum maupun setelah perusahaannya tercatat di bursa. Pada saat hendak melakukan go public, maka emiten akan menyampaikan informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan mengenai kondisi dan keadaan emiten dalam suatu dokumen yang disebut prospectus. Setelah emiten masuk dan tercatat didalam bursa, maka emiten tetap berkewajiban untuk memberikan laporan secara rutin kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam) dan Bursa efek.
Adanya kebutuhan modal dari emiten, serta adanya keinginan yang hendak dicapai oleh investor membuat keberadaan informasi yang diberikan oleh emiten didalam propektus menjadi sangat penting. Prospektus seharusnya dibuat sesuai dengan kondisi emiten dan bukan sebagai alat promosi saja, tetapi saat ini banyak yang menganggap bahwa emiten yang go public di pasar modal banyak yang menyediakan prospektus yang tidak layak, yaitu hanya untuk[4]:
1.        Sekedar untuk memenuhi kewajiban yuridis yang terbit dari peraturan-peraturan yang ada
2.        Sekedar untuk mengangkat image perusahaan (self congralatory prospectus)
3.        Sekedar iklan bagi perusahaan (emiten) untuk membuat saham-sahamnya menjadi laku di pasar modal, tidak ubahnya seperti fungsi-fungsi iklan di media massa
Hasan zein mahmud berpendapat bahwa apabila ternyata terdapat bukti penyelewengan atau manipulasi prospektus maka investor dapat melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Investor sebagai pemegang saham publik dapat menuntut melalui jalur hukum apabila emiten tersebut tidak benar mengelola manajemen perusahaan atau tidak memberikan informasi secara transparan.[5]
Prosedur untuk melaksanakan transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK No. IX.E.1 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Peraturan ini mendefinisikan Benturan Kepentingan sebagai perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat merugikan perusahaan dimaksud.
1.        I.            PENGERTIAN BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST)
Menurut Peraturan Bapepam Nomor IX.E.1 menyatakan pengertian benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggtoa direksi, anggota komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat merugikan Perusahaan dimaksud.[6]
Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan adanya benturan kepentingan[7]
1.        Adanya transaksi, yaitu suatu aktivitas atau kontrak dalam rangka memberikan dan/atau mendapat pinjaman, memp[eroleh, melepaskan, atau menggunakan aktiva, jasa, atau efek suatu perusahaan atau perusahaan terkendali, atau mengadakan kontrak sehubungan dengan aktivitas tersebut.
2.        Adanya benturan kepentingan.
3.        Benturan kepentingan tersebut adalah antara perusahaan dengan komisaris atau direktur atau pemegang saham utama.
4.        Kepentingan yang berbenturan alah kepentingan ekonomis.
5.        Transaksi tersebut berpeluang merugikan perusahaan.

Dalam peraturan Nomor IX.E.1 disebutkan juga transaksi-transaksi yang dikecualikan dari ketentuan mengenai benturan kepentingan, antara lain[8]:
1.        Penggunaan setiap fasilitas yang diberikan oleh perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada anggota Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama juga menjabat sebagai Karyawan, dan fasilitas tersebut langsung berhubungan dengan tanggung jawab mereka terhadap Perusahaan dan sesuai dengan kebijakan Perusahaan, serta telah disetujui RUPS.
2.        Transaksi antara Perusahaan, baik dengan karyawan, anggota Direksi, atau anggota Komisaris Perusahaan Terkendali, atau transaksi antara Perusahaan terkendali, baik dengan Karyawan, anggota Direksi, anggota Komisaris Perusahaan Terkendali tersebut, maupun dengan Karywan, Direksi, atau anggota Komisaris Perusahaan dengan persyaratan yang sama, sepanjang hal tersebut telah disetujui RUPS. Dalam Transaksi tersebut termasuk pula manfaat yang diberikan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada semua Karyawan, Direksi, Komisaris dengan persyaratan yang sama, menurut kebijakan yang ditetapkan Perusahaan.
3.        Imbalan, termasuk gaji, iuran dana pension, dan/atau manfaat khusus yang diberikan kepada anggota Komisaris, Direksi, dan pemegang saham utama yang juga sebagai Karyawan, jika jumlah secara keseluruhan dari imbalan tersebut diungkapkan dalam laporan keuangan berkala.
4.        Transaksi berkelanjutan yang dilakukan sesudah Perusahaan melakukan Penawaran Umum atau setelah pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik menjadi efektif, denga persyaratan:
–          Transaksi awal yang mendasari Transaksi selanjutnya telah memenuhi Peraturan ini.
–          Syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang dapat merugikan Perusahaan.
5.        Transaksi dengan nilai Transaksi tidak melebihi 0.5% (nol koma lima pesen) dari modal disetor Perusahan dan tidak melebihi jumlah Rp.5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah);
6.        Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan sebagai pelaksanaan peraturan perundangan-undangan atau putusan pengadilan.
7.        Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (Sembilan puluh Sembilan persen) atau antara sesame Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (Sembilan puluh Sembilan persen) oleh perusahaan dimaksud.

1.        II.            Dalam hal Benturan Kepentingan, hal yang harus diperhatikan adalah[9]:
1.        Pengungkapan Benturan Kepentingan. Anggota harus mengungkapkan secara lengkap semua hal yang mungkin berpengaruh terhadap independensi dan obyektivitas anggota atau mungkin mengganggu kewajiban anggota kepada klien dan perusahaan. Anggota harus memastikan bahwa pengungkapan tersebut dikomunikasikan secara jelas, lugas, dan efektif.
2.        Prioritas Transaksi. Transaksi investasi untuk klien dan perusahaan harus diprioritaskan di atas transaksi investasi pribadi milik anggota.
3.        Imbalan referens. Anggota harus mengungkapkan kepada perusahaan dank lien/calon klien, semua imbalan atau keuntungan yang diterima dari, atau dibayarkan kepada orang lain atas pemberian referensi suatu produk atau jasa.

1.        III.            Modus Transaksi Benturan Kepentingan Tertentu
Sejumlah modus transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mengandung benturan kepentingan menurut Peraturan Nomor IX.E.1 adalah perusahaan publik atau emiten :
1.        Penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, atau pembentukan usaha patungan.
2.        Perolehan kontrak penting.
3.        Pembelian atau kerugian penjualan aktiva yang material.
4.        Pengajuan tawaran untuk pembelian efek perusahaan lain.
5.        Memberi pinjaman kepada perusahaan lain dimana direktur, komisaris, pemegang saham utama atau perusahaan terkendali dari perusahaan publik menjabat pula sebagai pemegang saham, direktur, komisaris.
6.        Memperoleh pinjaman dari perusahaan lain dimana pemegang sahamutama, direktur, atau komisaris dari perusahaan publik merupakan pemegang saham atau direktur atau komisaris.
7.        Melepaskan aktiva perusahaan publik kepada perusahaan lain dimana pemegang saham utama, direktur, komisaris menjadi pemegang saham, direktur, atau komisaris.
8.        Mengalihkan aktiva perusahaan publik kepada pihak lain yang mana turut berperan dalam transaksi tersebut pemegang saham utama, komisaris, atau direksi
dari perusahaan publik atau emiten.
9.        Memakai jasa perusahaan dimana pemegang saham utama, direktur, komisaris dari perusahaan publik menjadi pemegang saham, direktur, atau komisaris.
10.     Membeli saham perseroan lain dimana pemegang saham utama, komisaris, atau direksi menjadi pemegang saham atau anggota direksi atau komisaris.
11.     Melakukan penyertaan pada perusahaan lain. Perusahaan publik melakukan penyertaan pada perusahaan lain yang mana pemegang saham utama, direksi, atau komisaris menjadi pemegang saham, komisaris, atau direksi pula pada perusahaan yang menerima penyertaan.
12.     Menggunakan fasilitas pada perusahaan publik oleh perusahaan lain baik afiliasi ataupun bukan. Perusahaan publik memberikan jasa penggunaan fasilitas kepada perusahaan yang mana pemegang saham utama, komisaris, dan direksi menjadi pemegang saham atau menjadi anggota komisaris atau direksi dari perusahaan yang mempergunakan fasilitas tersebut.
13.     Perusahaan menggunakan fasilitas perusahaan lain oleh perusahaan publik. Perusahaan publik mempergunakan fasilitas perusahaan lain yang mana pemegang saham utama, komisaris, atau direksi perusahaan publik merupakan pemegang saham atau direksi atau komisaris dari pemberi fasilitas.
14.     Dan transaksi lain yang berindikasikan adanya benturan kepentingan[10].

1.        IV.            Tanggung Jawab Perseroan Dan Pengurus Atas Benturan Kepentingan Tertentu

Transaksi yang mengandung benturan kepentingan adalah transaksi yang mengandung perbedaan kepentingan ekonomis antara perusahaan di satu pihak dengan pihak direksi, komisaris, atau pemegang saham di lain pihak. Transaksi yang demikian mungkin dilakukan atau difasilitasi oleh direksi berdasarkan kekuasaannya.
Dengan kekuasaannya direksi dapat mengambil keputusan untuk bertransaksi demi kepentingannya atau kepentingan pihak lain, bukan demi perseroan. Untuk itu Bapepam mengharuskan persetujuan mayoritas pemegang saham independen. Jika transaksi tersebut dilakukan tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka tindakan direksi dan komisaris dianggap sebagai tindakan di luar kewenangannya (ultra vires). Dengan demikian, tindakan direksi dan komisaris bertentangan dengan UUPT Pasal 85 ayat 1 dan Pasal 98.
Pihak yang menyebabkan terjadinya transaksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Bapepam berwenang mengenakan sanksi kepada pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut (angka 13). Pihak yang dimaksud di sini adalah direksi dan komisaris perusahaan. Sanksi yang dapat dikenakan adalah sanksi peringatan tertulis dan denda (UUPM Pasal 102 ayat 2 huruf a,b).
Tindakan Bapepam meminta pertanggunggjawaban kepada perusahaan dan pengurus mengacu kepada UUPT Pasal 85 ayat 2 jo. UUPM Pasal 102 ayat 1. Dengan begitu pengurus perseroan tidak dapat mengelakkan tanggung jawabnya dan mengalihkan tanngung jawab kepada perseroan. Karena UUPT memberikan kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban dari pengurus perseroan atas kesalahan dan kelalaiannya dalam memjalankan perseroan.
Dengan dimungkinkannya direksi dan komisaris terkena sanksi dalam Peraturan IX.E.1 diharapkan pengelolaan perusahaan publik kian baik. Dengan begitu pasar modal menjadi tempat yang aman dan menarik bagi masyarakat untuk menanamkan uangnya.[11]

1.        V.            Sanksi Atas Pelanggaran Terhadap Ketentuan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu
Jenis sanksi untuk pelanggaran ketentuan transaksi yang mengandung benturan kepentingan adalah sanksi administratif. Sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan mengenai transaksi yang mengandung benturan kepentingan menurut UUPM Pasal 102, yaitu :
–          peringatan tertulis;
–          denda atau kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
–          pembatasan kegiatan usaha;
–          pembekuan kegiatan usaha;
–          pencabutan izin usaha;
–          pembatalan persetujuan;
–          pembatalan pendaftaran;
–          sanksi lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan ketentuan mengenai sanksi denda diatur dalam UUPM Pasal 102 jo. PP Nomor 45 Tahun 1995 Pasal 64 dan Pasal 65. PP Nomor 45 Tahun 1995 Pasal 65 ini memberikan landasan hukum kepada Bapepam untuk menjatuhkan sanksi denda kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab dan terbukti bersalah atas terjadinya transaksi yang mempunyai benturan kepentingan yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Jumlah sanksi denda untuk transaksi yang mengandung benturan kepentingan ditentukan dalam PP Nomor 45 Tahun 1995 Pasal 65, yaitu denda sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada orang perorangan yang terbukti bersalah melanggar ketentuan mengenai transaksi yang mempunyai benturan kepentingan. Untuk pihak yang bukan orang perorangan, dikenakan jumlah denda yang lebih besar lagi, yaitu Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).




[1] M.Irsan Nasarudin, S.H. et al., Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia(Jakarta : Kencana, 2008), hlm 13

[2] Ibid.
[3] Munir Fuady,  Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 78
[4] Ibid, hlm 81
[5] Investor publikpun gigit jari, Investor No.1 – Oktober 1998, hlm 21
[6] Badan Pengawas Pasar Modal dan  Lembaga  Keuangan
[7] Munir Fuady, Op.Cit., hal. 190-191

[8] Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Op.Cit, Angka 3 huruf c.

[9] Abi Hurairah Moechdie dan Haryajid Ramelan., hal 472
[10] M.Irsan Nasarudin, S.H. et al., Aspek Hukum Pasar Modal. Opcit. Hal 247
[11] Ibid hal 253-254


Mengenai Kuasa, Surat Kuasa dan Eksepsi

1.        Definisi
Pengertian kuasa merujuk pada wewenang, jadi pemberian kuasa berarti pemberian/pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, untuk mewakili kepentingannya. 
1.        2.     Kuasa Pada Umumnya
·         Pasal 1972 BW mendefiniskan pemberian kuasa adalah “suatu pesetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya (wewenang) kepada orang lain , yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan” 
·          Adapun sifat pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
1.        Pemberian Kuasa terjadi dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya;
2.        Si kuasa tidak dibolehkan melakukan Sesuatu apapun yang melampui kuasanya;
3.        Si Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa si kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan persetujuannya ;
·         Kewajiban Si Penerima Kuasa diatur dalam pasal 1800-1806 BW sedangkan Kewajiban dari Si Pemberi Kuasa itu diatur dalam Pasal 1807-1812 BW.
·         Berakhirnya Surat Kuasa diatur dalam pasal 1813-1819 BW, yaitu sebagai berikut :
1.        Ditariknya kembali kuasa si Penerima Kuasa
2.        Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa;
3.        Dengan Meninggal, Pengampuan, pailitnya si Pemberi Kuasa atau penerima Kuasa;
4.        Dengan Kawinnya Permpuan yang memberi kuasa atau menerima kuasa. Setelah SEMA No.1115/B/3932/M/1963 dan Undang-Undang Pokok Perkawinan No,or 1 tahun 1974, maka ketentuan tersebut tidak berlaku lagi;
5.        Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama menyebabkan ditariknya kuasa pertama. 
·          Jenis Kuasa
Menurut M. Yahya Harahap, SH dikatakan ada 3 (tiga) Jenis kuasa:
·         Kuasa Umum
Kuasa Umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata, dimana kuasa umum bertujuan untuk memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa mengenai pengurusan , yang disebut berharder untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian , dari segi hukum , surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa haruslah mendapat surat kuasa khusus.
·         Kuasa Khusus
Adapun pengaturan mengenai surat kuasa khusus diatur dalam pasal 1975 BW yaitu mengenai pemberian kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agar bentuk kuasayang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan , kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 123 HIR.
·         Kuasa Istimewa
Kuasa Istimewa diatur dalam pasal 1796 BW dikaitkan dengan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG
2. Dasar  Hukum
Maksud dari Kuasa Menurut Hukum bahwa Undang-Undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan itu sendiri tanpa memerlukan surat kuasa.
·         Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas  Direksi atau Pengurus Badan Hukum :
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan  Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

·         Pasal 103 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

·         Penjelasan Pasal 103 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Yang dimaksud “kuasa” adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa.
·         Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 Tentang Perseroan Terbatas
Direksi adalah organ PERSERO yang bertugas melaksanakan pengurusan PERSERO untuk kepentingan dan tujuan PERSERO, serta mewakili PERSERO baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·         Pasal 123 ayat (1) HIR
1. Kuasa secara Lisan[1];
Kuasa ini dinyatakan secara lisan oleh Penggugat di hadapan Ketua Pengadilan Negeri, dan pernyataan pemberian kuasa secara lisan tersebut dinyatakan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.
2. Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan;
Penggugat dalam surat gugatannya, dapat langsung mencantumkan dan menunjuk Kuasa Hukum yang dikehendakinya untuk mewakili dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam praktek, cara penunjukan seperti itu tetap saja didasarkan atas Surat Kuasa Khusus yang telah dicantumkan dan dijelaskan pada surat gugatan.
3. Surat Kuasa Khusus.
Pengertian dan definisi dari Surat Kuasa Khusus tidak di atur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) maupun HIR, akan tetapi dapat diikhtisarkan esensi dari Surat Kuasa Khusus yaitu : (i) yang meliputi pencantuman kata-kata “Khusus” dalam surat kuasa, (ii) yang berisikan pengurusan kepentingan tertentu pemberian kuasa yang dibuat dan ditandatangani khusus untuk itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1795 KUH Perdata.
Berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di pengadilan negeri oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa, maka hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Kuasa Hukum  dalam pemberian Surat Kuasa Khusus adalah :
1.          Identitas para pihaknya;
2.         Pokok dan obyek sengketanya;
3.        Wilayah kewenangan pengadilan tempat gugatan diajukan;
4.        Penyebutan kata-kata “KHUSUS” dan klausul khususnya;
5.        Hak-hak penerima Kuasa, yaitu hak substitusi dan hak retensi;
6.        Tanggal dibuatnya Kuasa Khusus;
7.        Tanda tangan para pihaknya, sebagai persetujuan.
Pasal 123 ayat (1) HIR hanya menyebutkan tentang syarat pokok saja, yaitu kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang biasa disebut surat kuasa khusus. Hal inilah yang menyebabkan di masa lalu surat kuasa khusus dibuat sangat sederhana sekali karena cukup berisi pernyataan penunjukan kuasa dari pemberi kuasa yang berisikan formulasi “memberikan kuasa kepada seseorang untuk mewakili pemberi kuasa menghadap di semua pengadilan”.
Oleh karenanya, dengan berjalannya waktu diperlukan penyempurnaan yang benar-benar berciri surat kuasa khusus, yang dapat membedakannya dengan surat kuasa umum. Penyempurnaan  dan perbaikan itu, dilakukan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”), yaitu diantaranya :
1.        SEMA Nomor 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959;
2.        SEMA Nomor 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962;
3.        SEMA Nomor 01 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971; dan
4.        SEMA Nomor 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.
·         Berdasarkan ke-4 SEMA No. 6 Tahun 1994 tersebut diatas, menyatakan :
Untuk menciptakan keseragaman dalam hal pemahaman terhadap Surat Kuasa Khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada Badan-badan Peradilan, maka dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
1.        Surat Kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
1.        dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.
2.        Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebut Pasal-pasal KUHAP yang
didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
1.          Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan suatu surat khusus yang baru.
2.        Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu.
1.        a.      Eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya.
2.        b.     Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard). Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :
3.        c.      Eksepsi Tidak Berwenang Mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara Absolut dan eksespsi karena pengadilan tidak berwenang secara Relatif. Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv.
Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal tergugat, forum rei sitaeforum rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan. 
Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :
1.        d.     Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah[2], dalam hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR.
Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.